Labuko Sang Penyelamat Anak

By , Senin, 16 Desember 2013 | 14:15 WIB

Lale Labuko tidak akan pernah mengetahui sejumlah hal mengenai dirinya sendiri―misalnya tanggal lahirnya. Sukunya di Lembah Omo, Etiopia, tidak pernah menyimpan catatan tertulis (tebakan terbaiknya adalah Oktober, awal tahun delapan puluhan).

Tetapi, ada satu hal yang diketahuinya dengan pasti: Ia tidak akan beristirahat sampai berhasil menghentikan praktik untuk membunuhi bayi yang lahir di luar nikah, bayi yang lahir dari orang tua yang tidak diizinkan oleh para tetua untuk memiliki anak, atau bayi yang gigi atasnya tumbuh terlebih dahulu alih-alih gigi bagian bawahnya seperti yang biasa terjadi.

Bayi-bayi ini diyakini sebagai bayi yang dikutuk. Labuko telah menyelamatkan 37 anak, dalam rentang umur satu sampai sebelas tahun; mereka tinggal di sebuah rumah yang dibangun dengan bantuan fotografer dan pembuat film asal California, John Rowe, salah satu pendiri organisasi Omo Child bentukan Labuko.

Berikut petikan wawancara National Geographic dengan Labuko.

Kapan tepatnya Anda mengetahui soal praktik-praktik ini?Saat usia saya sekitar 15 tahun. Ada seorang tetua desa yang mengambil bocah berumur dua tahun dari ibunya, dan sang ibu menangis. Saya tidak yakin apa yang sedang terjadi. Ibu saya berkata, "Lale, beberapa anak di suku dinyatakan sebagai mingi, dan mereka membunuh anak-anak itu." Beliau mengatakan mingi berarti "terkutuk."

Bagaimana anak-anak ini dibunuh?Kadang-kadang mereka ditinggalkan di belantara begitu saja, tanpa air, tanpa apa pun. Atau mereka didorong jatuh dari tebing.

Kapan Anda pertama mencoba untuk bertindak?Pada 2008, saya berkata kepada tetua-tetua ini, kalian pikir anak-anak ini dikutuk dan membawa penyakit serta kelaparan. Bisakah kalian menyerahkan anak-anak itu kepadaku? Mungkin kutukan mereka akan mengikutiku. Beberapa tetua setuju: "Mari kita lihat."

Seberapa besar risikonya?Yang lain memperingatkan saya: "Kau menyelamatkan anak-anak, suatu hari nanti [suku ini] akan membunuhmu."

Jelas sekali Anda mengabaikan ancaman mereka.Ya. Dan suku saya [suku Kara] telah menghentikan [praktik tersebut] sepenuhnya. Tapi suku Hamer masih melakukannya. Sulit untuk mengubah tradisi budaya kuno.

Apakah Anda memberitahu anak-anak ini bahwa mereka telah lolos dari cengkeraman maut?Mereka masih terlalu kecil. Saya bilang kepada mereka, "Kalian berada di sini untuk bersekolah." Ketika mereka sudah lebih dewasa, saya akan menjelaskan, "Praktik ini adalah adat istiadat. Bukan salah orang tua kalian. Untung saya menyelamatkan kalian." Tahun ini saya mendapat surel dari National Geographic yang menyatakan diri saya sebagai "emerging explorer". Anak-anak ini, suatu hari nanti juga akan menjadi emerging explorer berikutnya.