Getar Nada Gitar, Metamorfosis Indah Sepotong Kayu (2)

By , Selasa, 17 Desember 2013 | 06:53 WIB

Jika Ki Anong dikenal dengan kepiawaiannya dalam membuat gitar akustik, Gilles De Neve adalah seorang peranakan Prancis dan Belanda berpandangan tajam dan ramah yang terkenal dengan karya gitar listriknya. Di ruang kerjanya, terdapat gitar listrik dengan aneka bentuk, warna, dan bahan bertebaran di kursi, meja, lantai atau bersandar ke dinding yang dipenuhi pernik gitar.

Sejak berusia 14 tahun, Gilles tertarik akan gitar, namun sukar menemukan gitar untuk tanannya yang kidal, apalagi pada 1969. Ia pun memesan gitar kidal akustik ke Oen Peng Hok. Pada tahun 1980, di usia 25, ia datang lagi untuk belajar bikin gitar sendiri. Benar-benar manual dengan ketam, serut, kikir, amplas yang ditempel di potongan pipa.

Hingga tahun 2000, ia menjalani profesi arsitek sesuai pendidikan di ITB dan dalam tahun yang sama ia pun mendirikan Asia Guitar Labs bersama sang adik. Menurut Gilles, “Di Indonesia bisa dibuat gitar yang murah tapi layak dan berwatak. Bahan dan suku cadang murah tanpa korbankan mutu dan selalu tersedia. Indonesia unggul di mutu kayu. Dengan merk sendiri, pasti mutu gitar kita menang dibanding negara lain.“

Untuk membuat gitar, menurut Gilles, Indonesia bisa menciptakan jenis gitar tak terbatas. Alat harus menyesuaikan dengan keinginan bermain musik, bukan sebaliknya, kita yang menyesuaikan main dengan keterbatasan alat.

Sementara itu di Jalan Ciateul Tengah, Bandung, Abdul Rasid menggelar hasil produksi gitarnya. Di sana terdapat beberapa ukulele dan mandolin pesanan khusus di antara gitar akustik dan listrik yang terbuat dari variasi paduan kayu padat, kayu lapis dan serat kaca (fibreglass). “Dengan 20 pekerja, produksi kami 200 – 300 gitar/bulan, akustik dan elektrik berbanding 70 : 30 seharga Rp 200-800.000 dan Rp  900.000-3 juta,“ tutur Feby sang menantu, penanggungjawab harian di sana.

Angga (21), anak muda yang bermain gitar sejak kelas 1 SMP, kami temui di toko tersebut. “Saya pesan di sini karena tak standar. Harganya pun lebih rendah. Sekitar 3,5 juta rupiah. Sedangkan kalau di tempat lain minimal 11 juta rupiah per gitar. “Soal material bahan, orang Indonesia kurang explore. Saya pernah pakai kayu nangka, bagus. Proses kayunya perlu enam bulan dengan direndam di lumpur alami di sawah atau sungai mengalir agar pori-pori terisi menghadang rayap, obat khusus pemati bakteri dan dioven,“ lanjut Angga.

Mukti-mukti adalah musisi balada terakhir yang saya temui, yang mengaku sebagai petani.  Warna suara dan syairnya mengingatkan pada Ebiet G Ade dan Iwan Fals. Gitar miliknya berkepala penggalan kayu berserat asli membentuk huruf M, inisial namanya. Digarap Ki Anong selama setahun khusus baginya. Mukti-Mukti memperlihatkan sertifikat gitarnya. Di sana tertera, bahwa daun suaranya terbuat dari kayu banjar, tubuh sisi dan bilah jemari nada dari eboni, leher dari mahoni dengan pewarnaan alami.

*) Dimuat di “Kisah Sang Gitar : Getar Nada Gitar, Metamorfosis Indah Sepotong Kayu,“ Green Living Guide, edisi khusus NATIONAL GEOGRAPHIC Indonesia, Agustus 2009, hlm.84-89.