“Saya tak ingin ada warga saya yang menganggur. Jadi, saya kembangkan Kampoeng Wisata Industri Cikaret. Menengok keseharian penduduk sambil berbelanja, menikmati alam dan kudapan khas,” kata Syafrudin, lurah Cikaret (Januari 2005-2010) ini. Bak penyemangat. Padahal, niat awal kami hanya berbelanja sepatu.
Soal belanja sandal, sepatu, dompet, tas, saya dan teman sekampus, Auria punya tujuan favorit: Cibaduyut, Bandung. Kadang kami beralih ke yang lebih dekat : Tajur, Bogor. Sampai suatu hari, kami tahu di Kecamatan Bogor Selatan ada pusat industri sandal sepatu. Konon, Yongki Komaladi punya sanggar kerja di sini. Kami bisa belanja sambil melihat langsung cara pembuatannya.”
Dari Terminal Baranangsiang, Bogor, kami naik angkutan kota (angkot), mengarah 15 km ke selatan dari pusat kota. Sabtu pagi itu, Kota Hujan yang mulai dikenal sebagai Kota Angkot cukup lancar. Sekitar 30 menit, kami tiba di mulut Jalan Raden Kosasih, lanjut jalan kaki 300 m menuju Kelurahan Cikaret. Tarbiji, pemandu dari Kelompok Penggerak Wisata (Kompepar) “Sadar Wisata” mengantar kami memasuki gang kecil, padat dengan rumah-rumah batu yang masih menyisakan teras dan sepotong lahan untuk tanaman bunga dan buah.
Kami singgahi dulu rumah Haji Marjuk dan Ibu Kokom yang 11 tahun terakhir mengolah 100 bungkus, masing-masing berisi 10 kue ali dengan merek Kue Cincin Enak & Lajat MT. Bermodal 2 kg gula merah, 8 kg gula putih, terigu, garam, “Kue tahan 2 minggu tanpa pengawet. Diititipkan di warung dan grosir kue, Rp 5.000,-/pak,” kata Bu Kokom tentang kue mirip kue cucur itu.
“Kalo di sini mah, tiap delapan puluh langkah ketemu perajin sandal, “ kata Tarbiji dengan logat Sunda kental. Darii sekitar 147 pengusaha sepatu dan sandal yang terdaftar, sekitar 90 dinyatakan industri rumahan sehat. Menghasilkan 100 kodi/minggu berdasarkan pesanan tetap.