Kelurahan Cikaret seluas 153.470 ha dengan 12 RW dan 65 RT, sekitar 16.000 warganya dikenal turun-temurun sebagai perajin sandal, sepatu, kue ali dan rengginang, tahu sumedang, tempe, tauco. Berkarya cendera mata seperti wayang golek, gendang, hiasan dari tempurung kelapa, dan memanfaatkan limbah wayang, sandal-sepatu dari karet dan kulit imitasi. Juga pembuatan sabun cair.
Di sanggar Ook Sanusi di RW 07 yang membuat sandal bermerk sendiri, Latansa, saya dan Auria takjup mengamati proses pengolahan dari selembar latex yang dipola jadi sepasang sandal. Tukang bawah yang kerjanya disebut ngopen, khusus membuat bensol (alas sandal). Tukang atas menggarap ‘tudung’, menjahit dan menambahkan hiasan. Hasan Sajili sejak 1999 khusus membuat sandal pria, yang dilempar ke Pasar Anyar, Bogor, bahkan ke Batam, Riau dan Jambi. Harga jual Rp 280.000-300.000/kodi dengan merk Osaka yang belum didaftarkan. “Merk bebas, bisa atas permintaan. Misalnya, ini, Manohara yang sedang jadi buah bibir,” tukasnya menunjukkan cap merk di alas tumit.
Sadar merk adalah penting bagi Didin Muhidin (60), ketua paguyuban perajin sandal sepatu Bina Karya Mandiri tiga tahun terakhir. Sejak 1975, ia sudah mendaftarkan Amorita’s di Departemen Perindustrian dan Perdagangan. “Dulu yang terkenal Ciomas sebagai Cibaduyut-nya Bogor. Di sini, model bisa buat sendiri atau dari pemesan. Yongki Komaladi juga pesan dari sini,” tuturnya.
“Kadang saya dan istri coba membeli Amorita’s di toko yang dibandrol Rp 65.000, kami tawar Rp 50.000 saja susah turun. Kami malah bangga kalau harga jadi mahal,” akunya menirukan ujaran penjual, “Amorita’s sejajar Carvill..”
Di ruang pamer paguyuban, membeli harus patungan karena tak dijual eceran, minimal seperempat kodi (5 pasang). Saya ambil nomor 36, Auria nomor 40, sisanya oleh-oleh adik atau teman yang ukurannya cocok. Merogoh kocek Rp 70.000 saja untuk lima pasang. Demikian murah, tapi Didin Muhidin telah merasakan ancaman, “Sandal produksi China di toko dihargai Rp 25.000, berarti dari produsen Rp 5.000. Ongkos produksi kami tak bisa lagi ditekan.”
Kami susuri jalan raya desa, membelah persawahan hijau di kanan-kiri, sungai kecil, Gunung Salak di kejauhan dan bocah-bocah lelaki desa periang yang menyapa, malu-malu ketika difoto. Tapi mereka seperti yang diingatkan Pak Lurah Syafrudin, “Tidak minta-minta” agar wisatawan nyaman.
Selepas siang, dengan perut yang kami jadwalkan diisi dengan wisata boga di pusat kota Bogor, kami pamit. Minta kabar-kabari pada Tarbiji jika ada acara seperti Festival Ngaliwet di Sabtu bulan Juli. Ribuan warga ngaliwet alias menanak nasi bersama sepanjang Jalan Raden Kosasih, lalu makan bersama-sama, lengkap dengan lauk-pauk khas tradisional setempat. Kebersamaan penuh keakraban sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen.
Menuju ke sini: Angkutan Kota (angkot): Dari Terminal Baranangsiang, Bogor, naik angkot no.06/13 jurusan Bantar Kemang-Pasar Bogor atau Cikeuleut-Pasar Bogor, Rp 2.500,-/orang, turun di Empang/Bogor Trade Mall (BTM), seberangi jalan, lanjut angkot no.03 jurusan Ciapus, dturun di Gang Kosasih, Rp 2.500,-/orang, jalan 300m ke Kelurahan Cikaret, titik temu pemandu. Dari Staiun KA, naik angkot no.02 (arah Bogor) jurusan Sukasari-Bubulak, turun di BTM lanjut angkot no.03 jurusan Ciapus. Paket Wisata hubungi Kompepar “Sadar Wisata” Kelurahan Cikaret, Jl R Kosasih 35, Bogor, T 0251-487219, 0251-4804247 (Tarbiji, pemandu), 0856-93619290 (Elly Sahara, Kasie Sosial), disarankan pesan lebih dulu Senin-Jumat pk 08:00-16:00.