“Saya mulai beralih ke kain rami dari pusat tanam dan pintal rami di Garut, Pekalongan dan Wonosobo. Harganya masih lebih tinggi daripada mori (katun). Tapi keluarga tebu-tebuan ini lebih mudah ditanam dan dipanen. Anakannya tumbuh terus. Lebih lestari dan mengikat pewarna alam dibanding kapas.” Ini langkah lanjut Sancaya Rini, peraih Kehati Award 2009 berkat membatik dengan pewarna alam. “Saya mengganti malam (wax) dari ampas minyak bumi ke malam rumah lebah dari petani madu di Kalimantan. Titik didihnya lebih rendah. Saat ngelorot (meluruhkan malam) tak perlu cukup di air panas. Hemat BBM.”
Saat kami berkunjung di Hari Batik, 2 Oktober, lulusan Fakultas Pertanian UGM ini sedang berkutat dengan rendaman daun, ranting dan buah sawo duren. “Warnanya mungkin hanya cokelat, karena getahnya sedikit. Kian bergetah kian beragam warna yang mungkin muncul,” bandingnya dengan daun alpukat yang bisa memberi kuning, jingga, hijau lumut tergantung air tanah dan pencelupan.
Rini mencelup kain yang telah dicorak dan dimalam dua remaja pria, Acum dan Robi, siswa SMK jurusan listrik yang ingin menabung agar bisa kuliah walau orangtua hanya pedagang sayur keliling. “Membatik itu perlu panggilan hati. Yang tekun dan berminat akan bertahan,” kisah Rini tentang para wanita tetangga yang ia undang.
Ia sendiri semula hanya berminat belajar membatik di Museum Tekstil, lalu mencoba di rumah dengan pewarna kimia. Sang suami menegur, khawatir mencemari air tanah. Rini pun merunut sejarah batik, kembali ke alam, apalagi batik dan pewarnaan kunyit mulai dipatenkan Malaysia dan Jepang. Nenek moyang kita di abad ke-18 menitik dan melukis di daun lontar bercorak dedaunan, hewan, awan. Lalu berganti ke kain putih pintalan sendiri. Pakaian batik mulai dikenal.
Daun nila (Indofera), kulit soga tinggi (Ceriops candolleana Arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), akar mengkudu (Morinda citrifolia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), teh (Camelia sinensis) mewarnai. Plus pelorot dari soda abu, dan garam dari tanah lumpur. Rini pun memulung limbah sekitar: kulit rambutan, manggis, jambu, jengkol dicoba jadi pewarna, “Yang beraroma kuat biasa memberi warna pekat. Kekuatan warna muncul kalau kita berani mencampur bahan.” Ia kerap mengambili kulit pohon mahoni peneduh jalan, seperti ia contohkan di Hutan CIFOR, Bogor saat kami kali pertama belajar membatik darinya.
Kami jadikan kain katun itu laiknya kanvas, kebebasan dalam berekspresi dan eksplorasi alam adalah kunci dari batik Sancaya Rini. Alat nitik tidak sebatas menggunakan canting, kuas sampai teknik tie dye bebas digunakan. Motif tidak sbatas kawung atau parang rusak, berbagai bentuk alam – tumbuhan sampai bermacam serangga kecil – di Hutan CIFOR kami jadikan inspirasi. Warna pun kerap berbeda tergantung proses pencelupan, kualitas air tanah dan fiksasi – penguncian warna dengan larutan tunjung (FeSO4) yang didapat dari Ngasem, Yogyakarta menjadikan Batik pewarna alam tak pernah jadi warna 100% sama.
“Lihat, tak luntur,” tunjuknya, menepis keraguan soal pewarna alam. Penguncian warna ini kadang sengaja diabaikan Rini karena proses kimiawi ini dapat mengubah warna. “Kerap earthy, hitam, kecoklatan. Kalau bisa dapat cerah seperti kuning dari jewali atau merah dari secang, saya senang sekali!” Tangannya yang tadi menghitam telah dibersihkan dengan daun cilincing dari pekarangan rumah. Di gerbang, Rini menunjukkan pohon tin yang daunnya ia jadikan corak selendang merah.