Sentarum, Danau Luas Kami (1)

By , Rabu, 18 Desember 2013 | 11:07 WIB

“Kita sudah berada di Taman Nasional Danau Sentarum.” Saya mesti memperbaharui wawasan tentang batasan ‘danau’ sebelum bisa mencerna penegasan Jimmy Syahirsyah, Communications Officer WWF Indonesia Program Kalimantan Barat. Awal Juli 2009 itu, kami sedang berada di Kampung Sungai Pelaik, Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu di hilir Sei (sungai) Labian-Leboyan.

Dari kampung Dayak Iban ini, pagi itu Jimmy memutuskan kami kembali ke Dusun Ukit-Ukit, kawasan Dayak Tamambaloh di bagian tengah. Sehari sebelumnya kami mengunjungi Dusun Tempurau, pemukiman Melayu terdekat di hilir terdekat. Jadi, tiga ‘ragam’ warga yang tinggal di sepanjang sungai dari hulu Sungai Embaloh di Bukit Garam, perbatasan Malaysia sampai hilir di Danau Sentarum, sudah terwakili. Tapi, saya tetap merasa belum ke Danau Sentarum karena belum ke kampung Melayu di akhir hilir.

Di sinilah saya mengenal Danau Sentarum yang ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional pada 1999 seluas 132.000 ha sebagai bukan cekungan besar di Bumi yang terisi air (tawar, garam, mineral vulkanik) sebagai batasan danau umumnya. Sentarum oleh UNESCO ditetapkan sebagai ramsar site, lebak lebung alias hutan rawa tergenang. Sekitar 10 bulan dalam setahun, Danau Sentarum digenangi aliran dua sungai utama – Sungai Tawang yang terhubung ke hulu Kapuas, dan Labian-Leboyan – menjadi hamparan lahan basah seluas lebih dari 120.000 ha sedalam 6-14 m. Dikelilingi 4 pegunungan – Lanjak, Muller, Madi, Kelingkang – kawasan cekungan datar (lebak lebung) ini menjadi menara air bagi Kalimantan Barat.

Baru saat kemarau singkat, Danau Sentarum yang terletak 700 km dari Pontianak, 100 km utara Garis Khatulistiwa, meliputi 7 kecamatan (Batang Lupar, Badau, Embau, Bunut Hilir, Suhaid, Selimbau, Semitau) jadi hamparan luas tanah kering, menampakkan aliran-aliran sungai terdalam seperti Labian-Leboyan yang jadi jalur ketinting (longboat) kami. Saya jadi mengerti, mengapa warga di sepanjang aliran sungai rata-rata berumah panggung di tanah tertinggi.

Perbedaan mencolok musim pasang dan kering amat berpengaruh pada ragam flora fauna. Di sini sedikitnya ada 675 spesies tumbuhan dalam 97 famili, 150 jenis reptil, 13 jenis primata, 311 jenis burung termasuk 8 jenis rangkong dan si langka, elang ular Kinabalu (Spilormis kinabaluensis).

Ada keragaman tinggi ikan air tawar – 226 jenis. Dari ukuran terkecil sekitar 1 cm, ikan Linut (Sundasalax cf. Microps) sampai terbesar, ikan Tapah (Wallago leeri) yang bisa lebih dari 2 m, dan termahal jutaan rupiah seperti arwana/siluk merah (Scleropages formosus). Termasuk ikan hias ketuntang (balashark, tubuh mirip bandeng, sirip mirip hiu) yang langka dan baru ditemukan lagi pada 2007 setelah menghilang sejak 1975. Saat kemarau itulah, muncul ‘danau sejati’, genangan air kurang dari 1 ha yang disebut kerinan.

*) dimuat di National Geographic TRAVELER Vol II No.03, Maret-April 2010, hlm.38-39