Segenggam daun biji ketepeng (Cassia alata) yang bunganya kuning indah ditumbuk halus, dioleskan ke bisul di lutut kanan saya. Bak sulap, dalam beberapa menit, nyeri berdenyut itu teredam. Radang kemerahan digantikan titik-titik kuning. Tak lama, dengan pijatan lembut, mata bisul tuntas dikeluarkan. Saya terbebas berkat obat alam yang sesungguhnya tumbuh liar, tak sengaja ditanam oleh Nenek di kebun 500 m2 yang melingkupi rumah kami.
Kenangan masa kanak-kanak ini langsung mencuat ketika saya tiba di gerbang Taman Pembibitan Obat Tradisional Mustika Ratu di Tapos. Tapos? Ya, teringat Perternakan Sapi yang pada 1990-an kerap dipromosikan Presiden Soeharto? Benar, letaknya memang hanya 1 km di bawah area 651 ha pengembangbiakan sapi unggul itu. Tapi kawasan di Ciawi, Jawa Barat, di kaki Gunung Pangrango yang selalu membiru dipayungi gumpalan tebal awan putih itu juga dipilih BRA Mooryati Soedibyo sebagai museum hidup tanaman berkhasiat. Bahwa segala yang diramu jadi jamu, kosmetika dan minuman keshatan tak hanya hiasan di kemasan produk perawatan kecantikan dan kesehatannya berlabel Mustika Ratu itu. Tapi benar-benar ada, hidup. Dapat kita lihat, raba, rasa.
Keakraban saya dengan jamu sebatas kunyit asam racikan Nenek dan Ibu, atau dibeli dari Mbok Jamu Gendong. Terutama sejak haid pertama untuk mencegah gangguan pra-haid. Atau meneguk beras kencur saat tubuh lungkrah. Beberapa tahun terakhir, saya dan dua karib, Tira dan Risa sebulan sekali memanjakan diri menjadi ratu sehari dengan perawatan spa – pijat, lulur rendam – beramuan rempah Indonesia. Termasuk di Taman Sari Royal Heritage Spa yang dikelola Mustika Ratu. Di awal dan akhir perawatan, kami biasa disuguhi wedang (minuman) teh jahe atau gula asam.
Di akhir pekan, kadang saya, Tira, Risa berbagi cerita sambil menyeruput kunyit asam, gula asam atau beras kencur di W’dang Café. Atau, bergantian saling kunjung, dan berbincang santai di teras belakang rumah kami di Kebayoran dan Pasar Minggu sambil meneguk seduhan teh celup herbal. Suatu hari, bergabung pula Dini, teman akrab kami.
“Ini pohon jambu klutuk ‘kan?” katanya menunjuk pohon rambutan yang saat itu memang sedang tak berbuah.
Saya, Tira dan Risa terpana. Kami baru sadar, kami warga kota yang beruntung akrab dengan tanaman bunga, buah, obat karena kebun rumah kami cukup luas. Bagaimana agar Dini mendapat wawasan serupa? Biar klise, pucuk dicinta ulam tiba. Sebagai layanan pelanggan, suatu hari sebuah jaringan pasar swalayan mengundang kami berkunjung ke Taman Pembibitan Obat Tradisional Mustika Ratu. Dan, boleh mengajak keluarga. Dini pun kami sambar!
Di sinilah kami kini. Bus hanya mengantar sampai di gerbang. Selanjutnya, “Mari jalan kaki, 1 km saja, sehat. Petualangan kita dimulai dari rumpun tanaman di sini. Lihat, kenal dengan pohon ini kan, jambu klutuk!” seru Dodo si pemandu yang kocak dan ramah.
Tawa Dini berderai. Kini ia tahu wujud pohon yang buahnya sering ia nikmati sebagai buah iris atau juice bervitamin C tinggi itu. Daunnya ternyata bisa dimanfaatkan sebagai scrub (lulur) wajah. “Oh, saya pikir hanya untuk penghenti diare!” timpal seorang ibu.
*) dimuat di National Geographic TRAVELER Vol.II/4 Juli-Agustus 2010