Taman bibit di 380 m dpl, dataran rendah basah yang jelang tengah hari hampir selalu dirintiki hujan ini “hanya” 3 ha. Tapi dari awal mengisyaratkan, akan cukup memompa keringat. Lahan yang dibelah jalan aspal itu tampak siring, membentuk “bukit” berkemiringan 30 – 50º naik turun, terus mendaki. Dirintis sejak 1995, mengumpulan bibit tanaman dimulai sejak 1998, “Targetnya ada 2.500 jenis, saat ini terkumpul 2.000 jenis. Ini taman bibit, bukan kebun pemasok produksi,” urai Wisnu Wardana dari HR & GA Department Mustika Ratu. Penanaman bibit mempertimbangkan ragam, sifat dan khasiat tanaman.
Tepi kebun berupa tebing diisi kelompok tanaman keras. Ada sekitar 50 jenis macam kemiri, nangka, rambutan dan kayu manis. Di naungannya, blok tanaman yang tak bisa kena sinar matahari langsung. Misalnya bengkoang si tanaman merambat yang perlu banyak air. Umbinya enak dirujak, kaya kalsium, estrogen alami, juga bermanfaat sebagai masker pencerah wajah. Di keteduhan ini juga ada blok tanaman temu semusim tiga bulanan yang dimanfaatkan umbinya. Ada sekitar 20 jenis, seperti temu ireng, temu mangga, temu giring, temu putih, temulawak, temu kunci, lempuyang wangi, lempuyang gajah, kunyit, lengkuas, kencur, dan jahe.
“Untuk beberapa jenis tak cukup memperhatikan suhu, tapi juga asam basa tanah agar bisa tumbuh,” jelas Wisnu Wardana, “Jadi, pH mesti basa, di atas 5.” Saya jadi mengerti mengapa gagal menumbuhkan sejumlah rempah langka itu di pekarangan saya.
Kami melangkah ke blok berdasarkan khasiat untuk minuman kesehatan, atau si wangi perawat luar tubuh. Umumnya bersifat semak – berkayu ranting – macam bidara upas, bidara cina yang berbatang kayu keras, gambir hutan, kenanga, nilam perendam mandi, pulosari dan akar manis. Sedang asyik memotret, tiba-tiba mata saya menangkap sejumlah ulat bulu hitam merah asyik memamah daun. Saya jaga jarak aman. Mereka sedang bersiap diri bermetamorfosis jadi aneka kupu-kupu yang berterbangan itu.
Terus menanjak diiringi gemercik air di saluran yang bersumber dari sendang (mata air alami) yang dihiasi patung-patung bak suasana taman keraton, kami masuki Gerbang Kecipir – naungan bertanaman rambat dengan sayuran yang enak dilalap itu bergantungan di atas kami, mengantar ke blok tanaman langka. Ada mundu dan jati belanda si ramuan pelangsing. Kepel yang dulu hanya ditanam di keraton, pengharum tubuh para putri, buahnya bisa tumbuh di sekujur dahan dan batang hingga mendekati akar. Kami beruntung. Ada buah yang ranum. Sekilas mirip sawo berdaging buah cokelat jingga. Legit manis. Kami sempat pula mencicipi umbi bawang sabrang, sejenis anggrek tanah, yang agak getir, dan dipercaya bisa mengatasi kanker leher rahim. Bawang sabrang yang mudah tumbuh ini menjadi cendera mata ketika pulang.
Di joglo pertama, aula terbuka, sudah menunggu rebusan pisang, kacang bogor, kue pisang dan beras kencur penghilang penat. Sambil rehat, kami simak bekal Tampil Prima dengan Perawatan Paripurna, cantik rupa dan hati dari Lissy Sulistyani, Corporate Promotion Manager Mustika Ratu. Tapi saya, Tira, Risa, Dini lalu mencuri-curi kesempatan lebih dulu melangkah ke puncak kebun.
Tiba-tiba seekor burung biru cantik melesat dari lubang di batu penguat tebing! Di puncak pohon kayu mati sudah menunggu pasangannya.Ternyata ada pula beberapa jenis burung kecil. Aha, di sini ternyata bisa pula birdwatching!
Kami menarik napas panjang. Usai terengah mendaki, pemandangan Joglo Utama, Wismo Wasono, Taman Giri Asri, diresmikan 17 Agustus 1995 menyuguhkan taman Zen (Jepang) dan taman tropis. Indahnya ....
Usai makan siang di joglo pertama dengan gaya kuring Sunda – sayur asam, pepes, ikan bakar – kami kembali ke Joglo Utama. Giliran menyerap ilmu membuat jamu sederhana perawat kebugaran – gula asam, kunyit asam, beras kencur. Intinya, semua bahan mesti dikeringkan agar lebih mudah diolah seperti standar industri jamu, kadar air harus nol koma sepersekian persen. Terakhir, kami diajari pijat refleksi sederhana! Berkeringat, senangkan jiwa raga. Perjalanan menghangatkan hati yang bersumber dari kebun. Bumi Indonesia memang kaya.
*) dimuat di National Geographic TRAVELER Vol.II/4 Juli-Agustus 2010