Keanggunan Muslim Nias (1)

By , Kamis, 19 Desember 2013 | 10:18 WIB

Di muka rumah Bupati KDH Tingkat II Kabupaten Nias dan Masjid Jami’ Mudik, Kota Gunungsitoli bisa kita temui dua meriam yang dibawa T Simeugang , Datuk Ahmad dan  Acah Harefa , keturunan Teuke Polem dari Aceh yang mengenalkan Islam di Nias pada abad ke 17, dua abad sebelum Belanda menginjakkan kaki di Nias. Ada belasan masjid dan musala di Gunungsitoli (dibandingkan tempat peribadatan kaum Nasrani yang berjumlah lebih dari 30 gereja), menunjukkan kehidupan beragama di kota ini berlangsung anggun.

Syiar Islam di Nias bermula ketika  Teuku Polem, berlayar ke selatan Sumatra pada tahun 1642. Putra sulung Teuku Cik, kepala pemerintahan Aceh Barat ini datang di Nias di muara Luaha Laraga Idano dan disambut baik warga setempat, Balugu Harimao.  Setahun kemudian, Teuku Polem menikah dengan Bowo’ana’a, putri Balugu Haimao. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Bowo’ana’a menjadi orang Nias pertama yang memeluk Islam. Tak lama, kerabatnya Acah Herefa juga masuk Islam. Keturunannya tinggal di Kampung Miga, Ori Tabaloho Dahana, Kecamatan Gunungsitoli. Keturunan saudara yang lain, Kehomo Harefa tinggal di Kampung Mudik, Gunungsitoli dan sebagian di Sifahandro, Kecamatan Tuhemberua.

Siti Zohora, putri Teuku Polem, dinikahkan dengan Datuk Ahmad, bangsawan dari Padang Pariaman, pada 1690. Keturunannya tinggal di Hele Duna yang terus berkembang hingga dikenal sebagai Mudik. Berhubungan dan kawin mawin dengan penduduk asli Nias. Anak cucu Datuk Ahmad ada yang tinggal di Kelurahan Ilir, Kampung Baru, Gunungsitoli.

Kampung Islam, Ilir dan Mudik berkembang sepanjang sungai Kali Nou, meneruskan tradisi kesultanan. Raja Sulaeman (1755-1790) mengadakan pesta adat (owasa) pada 1756.  Belanda masuk ke Nias pada tahun 1840 dan tiga tahun kemudian mengangkat Datuk Rajo Bendahara di Mudik dan penerusnya tetap mengadakan owasa hingga Raja Muhd Aiyub (1896-1920). Sejak itu, jabatan raja Mudik dihapus dan diganti dengan sebutan Sawala (kepala kampung).