Jakarta kian terpuruk dari tahun ke tahun. Semakin tinggi jumlah penduduk tidak diimbangi dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Lahan yang bisa menampung aktivitas penduduk makin terbatas pula. Pemenuhan permintaan lahan mengakibatkan lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan terbangun dalam kurun waktu 30 tahun. Lahan terbangun meningkat, sebaliknya lahan non-terbangun berkurang. Seperti di area Jakarta Timur, tahun 1973 baru ada sekitar 8 persen lahan terbangun. Di tahun 2007, sudah meningkat 10 kali lipat dengan proporsi terbesar lahan terbangun untuk permukiman.
Selain lahan, ketersediaan air baku yang hanya bergantung pada Waduk Jatiluhur, Sungai Krukut, dan Cisadane tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan 9,6 juta penduduk yang kini mendiami Jakarta. Dampak lanjutannya: permukaan tanah semakin turun, disebabkan oleh intrusi air laut di utara Jakarta dan eksploitasi air tanah berlebihan.
Air baku menipis diakibatkan produksi air baku tidak sebanding dengan kebutuhan penduduk Jakarta. Sejak 2006, Jakarta mulai defisit air bersih.
Sistem transportasi juga tidak bisa menampung peningkatan kebutuhan perjalanan. Luas jalan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor—yang didominasi kendaraan pribadi. Sarana angkutan umum yang tersedia juga belum cukup memenuhi. Berdasar data JICA Sitramp, jenis perjalanan dengan mobil pribadi mencapai 9.900 ribu perjalanan per hari, dan dengan sepeda motor mencapai 15.300 ribu perjalanan per hari.
Penduduk terus bertambah
Selama 30 tahun terakhir, penduduk Jakarta terus bertambah. Sampai 2010, Jakarta sudah dihuni 9.607.787 juta jiwa penduduk. Jumlah ini akan meningkat menjadi 13,2 juta jiwa pada siang hari, pertambahan dari 3,6 juta komuter yang setiap hari bergerak dari Bodetabek.
Kepadatan penduduk tertinggi ada di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat: 48.952 jiwa per kilometer persegi. Satu rumah dihuni lebih dari satu keluarga.
Kecamatan Tambora di Jakarta Barat tergolong padat penduduk pula, dengan tingkat kepadatan mencapai 43.789 jiwa per kilometer persegi. Satu rumah berukuran 4x6 meter bisa dihuni lebih dari 10 orang.
Kepadatan penduduk tersebut juga membuat ruang gerak manusia di Jakarta semakin sempit. Kemacetan tak terelakkan.
Diperkirakan pada 2020, jalan di Jakarta tidak bisa menampung mobil dan motor yang ada.
Masalah lain yang sedang dihadapi Jakarta adalah penurunan muka tanah. Selama kurun waktu 1982-1997, terjadi penurunan muka tanah sedalam dua meter di beberapa lokasi. Di Kapuk, tercatat penurunan muka tanah 11 cm/tahun. Sementara sejak 1997 hingga 2003, terjadi penurunan 91 cm di beberapa lokasi lagi.