Seribu Soal Pulau Seribu (1)

By , Jumat, 20 Desember 2013 | 11:42 WIB

Kapal cepat bertenaga 160 daya kuda itu berhenti di tengah alun-alun gelombang Laut Jawa yang tak terlalu bersahabat. Satu jam setelah meninggalkan dermaga di Marina Ancol di utara Jakarta, sampah plastik membelit baling-balingnya. Butuh waktu beberapa menit untuk melepaskan lilitan sampah-sampah itu, sebelum baling-baling kapal yang membawa saya dan Sumarto, Kepala Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, berputar dengan normal kembali.

Sejak beberapa tahun terakhir, sampah mulai mengganggu berbagai kapal penumpang ke Kepulauan Seribu. Beberapa pengemudi kapal cepat di jalur tersebut mengaku, kerap mengalami kesulitan dengan sampah-sampah yang mengambang dan tak terlihat dari jendela kemudi. Setiap hari sekitar 2.000 ton sampah Jakarta, mengalir ke Laut Jawa, melalui tiga belas sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.

Sampah-sampah itu semakin dalam masuk ke wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu karena pengaruh angin. “Saya khawatir tahun ini sampah akan mencapai Pulau Pramuka yang menjadi batas terluar taman nasional,” kata Sumarto. Pulau Pramuka yang disebutnya hanya satu setengah jam perjalanan laut dari Jakarta.

Andai ramalannya benar, sampah-sampah itu akan semakin sulit dibersihkan dan membutuhkan ongkos yang tak sedikit, karena perairannya luas, dan cuaca yang berubah-ubah. Bila tak dibersihkan, sebagian sampah plastik atau kaleng itu akan tenggelam dan merusak kehidupan terumbu karang yang menjadi andalan wisata penyelaman di situ.

Ancaman pencemaran lain adalah tumpahan minyak dari beberapa anjungan minyak lepas pantai yang beroperasi di sekitar Teluk Jakarta. Dua kali minyak mentah tumpah di perairan yang dilindungi itu, tetapi hingga sekarang tidak ada yang diajukan ke pengadilan atau mengganti kerugiaannya.

Sumber pencemar lain, meskipun jauh lebih kecil, adalah ceceran bekas dari kapal-kapal kayu yang biasa disebut ojek, kapal sepanjang 20 meter, satu-satunya kapal kelas ekonomi yang mengantarkan penduduk bolak-balik ke Jakarta. Kapal tersebut jarang mengindahkan keselamatan. Musim hujan awal tahun ini misalnya,  satu kapal tenggelam dan empat orang tewas lantaran kelebihan muatan. Namun kecelakaan itu tak membuat kapal ini kehilangan penumpang.

Karena tidak ada pilihan transportasi murah, ojek ini selalu padat, sekitar 65 orang dalam satu kapal, kadang-kadang ditambah sepeda motor, berpeti-peti telur, beras dan kebutuhan pokok sehari-hari lainnya. Sesekali kondektur kapal memompa keluar air laut keluar bersama dengan cairan minyak bekas yang mengapung di atas air laut, dan mengganggu kehidupan biota laut dan terumbu karang.

Letaknya yang dekat denga kota megapolitan Jakarta menyebabkan TNLKS mendapatkan ancaman paling serius di antara taman nasional lain di Indonesia. Selain sampah perkotaan yang memacetkan baling-baling kapal kami tadi dan pencemaran minyak, daya tarik Kepulauan Seribu juga mengancam dirinya sendiri. Peningkatan jumlah wisatawan pasti membawa dampak. Jumlah perahu hilir mudik juga punya akibat. Semetara pertambahan jumlah penduduk di beberapa pulau yang mencapai 3,5 persen per tahun menghantui, memberikan tekanan besar kepada lingkungan di sana.