Sebagian besar penduduk di Kepulauan Seribu tak memiliki pekerjaan tetap, hanya menjadi nelayan tangkap musiman dan sebagian menjadi pendamping wisatawan. Pertambahan jumlah rumah menyebabkan tingginya penebangan hutan mangrove. Akibatnya, sejak beberapa tahun yang lalu Pulau Dapur, Nyamuk Besar, Ubi Besar dan Ubi Kecil sudah tenggelam karena kehilangan pelindung dari abrasi. Ramainya penangkapan ikan-ikan hias dan terumbu karang telah menyebabkan luas penutupan terumbu di seluruh taman nasional pun tinggal sekitar 36 persen.
Pelayaran oleh nelayan ternyata juga sangat mengganggu habitat dan kebiasaan bertelur penyu sisik (Eretmochelys imbricata) yang memerlukan suasana hening tanpa cahaya. Pada survei 2004, hanya ada sekitar 2.000 penyu atau 10 persen dari jumlah yang ideal di alam. Jumlah ideal sulit dicapai karena banyak yang mati tersangkut jaring hantu, padahal tiga jam sekali ia harus ke permukaan untuk menghirup oksigen. Sampah plastik sering dilahap dan justru mencekiknya, karena keliru mengira sebagai ubur-ubur.
Sumarto mengajak saya ke penangkaran penyu di Pulau Pramuka dan memperlihatkan beberapa penyu yang mengalami kelainan fisiologis: punggungnya yang melengkung, dan sirip-sirip tumbuh cacat. “Dugaan sementara tumpahan minyak yang menyebabkan kecacatan hewan-hewan ini,” ujarnya.
Ikan-ikan komersial juga makin sedikit dan harus ditangkap jauh di tengah laut, karena tingginya tingkat penangkapan oleh nelayan. “Duapuluh tahun lalu, dua jam melaut sudah penuh tongkol,” kata Abu Bakar, 56 tahun, pemukim Pulau Pramuka. Sekarang, bukan cuma ikan, elang bondol (Haliastur indus) juga kritis. Meskipun maskot Jakarta ini sudah dilindungi, tapi penelitian terbaru pada 2004 mencatat penurunan yang cukup drastis di kawasan itu – dari 1.300-an ekor yang pernah didata.
Tetapi beberapa cerita yang muram itu mulai berubah sejak beberapa tahun lalu. Sampah dari 1.149 rumah tangga di Panggang dan Pramuka misalnya, sejak tahun 2004 sudah mulai dibakar pada insinerator. Pantai dan kehidupan bawah laut di Pulau Pramuka sepengamatan lebih bersih sejak digelar program Intenational Beach and Underwater Clean Up Day tiap minggu ketiga September sejak 2002.
Apalagi sekarang pulau tersebut menjadi pusat pemerintahan kabupaten Kepulauan Seribu, tampak lebih asri dan rapi. Salah satunya dengan penanaman mangrove. Meskipun mangrove tergolong sulit tumbuh di sini karena tiada habitat tanah lumpur lengket, tapi dari sejumlah uji coba, pada tahun 2000 akhirnya TNLKS mendapatkan cara terbaik menyiasati jenis lahan berbatu karang ini. Mereka menanam banyak pohon mangrove dalam jarak rapat, hingga membentuk pagar saling melindungi.
Untuk menghindari kerusakan yang lebih parah, dan memberikan pekerjaan bagi nelayan, kantor taman nasional bersama pemerintah kabupaten dan beberapa lembaga penelitian, mencari pilihan sumber pendapatan yang cocok untuk nelayan tanpa merusak ekosistem Kepulauan Seribu.
Dimuat di National Geographic Indonesia, Mei 2006, hlm.118 -125