Seribu Soal Pulau Seribu (4)

By , Jumat, 20 Desember 2013 | 11:50 WIB

Ketika pembudidayaan rumput laut hancur karena dimakan ikan dan hama pada tahun 2002, nelayan putar haluan membangun keramba apung untuk ikan bandeng dan kerapu. Sebagian yang lain beralih menjual karang dan ikan hias.

Pemerintah menetapkan kuota nol untuk pengambilan karang hias dari alam mulai tahun 2004. Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia lewat 22 perusahaan swasta akhirnya mengalihkan pembibitan karang hias ekspor lewat metode pencangkokan karang untuk mengurangi tekanan pada terumbu karang alami. Rupanya nelayan tertarik pada bisnis dengan sistem bapak angkat ini – dimodali perusahaan yang akan membeli hasilnya.

Menurut Abdul Kadir, koordinator nelayan karang hias, ada 15 koordinatior cangkok karang sejak September 2004 di Pulau Panggang dan Pramuka. Masing-masing koordinator memiliki tiga sampai enam nelayan yang menangani lebih dari 100 rak cangkok karang seluas masing-masing satu meter persegi. Ada 36 jenis karang yang dicangkok, di antaranya Acropora sp., Favia sp., Galaxea sp., Merulina sp., Porites sp., dan Turbinaria sp.

Lewat cara pemulihan karang semi alami ini, taman nasional menargetkan pemulihan karang semi alami ini, taman nasional menargetkan pemulihan karang seluas 300 hektar. Jadi 510 nelayan Kepulauan Seribu yang semula mengambil karang di alam tetap bisa menghidupi keluarganya dengan harapan tambahan penghasilan satu sampai tiga juta rupiah per bulan. “Kami panen pertama kali bulan Februari, dengan harga jual sepotong sepuluh ribu rupiah,” ujar Abdul Kadir.

“Sejak 1981, tujuh tahun pertama saya mengambil karang dengan selam bebas tanpa alat sampai kedalaman 15 meter,” cerita Mahyudin, rekan Kadir, “lalu dengan kompresor sampai tahun 2001 di kedalaman dua sampai 26 meter bahkan 60 meter.” Akibatnya, dua telinganya pernah tuli namun akhirnya pulih dengan ramuan tradisional. “Sekarang cangkok karang bisa dikerjakan hanya pada kedalaman dua sampai delapan meter saja, hingga tak perlu mengirim para nelayan yang malang itu ke ruang hiperbarik atau berakhir dengan kelumpuhan.

Setelah dua hari menikmati dunia bawah air yang masih mengagumkan di Pulau Sepa, saya naik kapal cepat kembali ke dermaga di Marina, Ancol. Perairan tampak tenang, tapi sekali lagi mesin kapal itu mati mendadak karena baling-balingnya tersangkut sampah. Kekhawatiran Sumarto boleh jadi akan segera terbukti.

Dimuat di National Geographic Indonesia, Mei 2006, hlm.118 -125