Tiba di Benua Afrika, tak lengkap rasanya bila tidak menikmati flora dan faunanya yang khas. Rombongan kuda nil berendam bahagia di sungai, gajah bebas merumput, dan berjenis-jenis burung melintas. Di Victoria Fall, Zimbabwe, saya bersama seorang wartawan televisi swasta memutuskan mengikuti Sunset Cruise. Perjalanan dimulai dari A’Zambezi River Lodge. Setiap penumpang harus membayar 55 dollar AS untuk perjalanan sekitar dua jam ditambah kudapan dan minuman. Salah seorang wisatawan asal Washington DC, Amerika Serikat, Roxie (55), semringah mendengar kami akan mencoba Sunset Cruise. ”Kemarin saya sudah melakukannya dan melihat beberapa kuda nil, gajah, jerapah, dan buaya. Semoga kalian juga beruntung melihat binatang-binatang liar itu,” ujar perempuan yang sudah beberapa hari berlibur di Zimbabwe. Sambil menyusuri sungai, kapten kapal menyebutkan beberapa fakta tentang Sungai Zambezi. Sungai yang membelah Zambia dan Zimbabwe ini sangat panjang, 2.574 kilometer. Selain kedua negara tadi, sungai ini juga melintasi antara lain Angola, Namibia, Bostwana, Mozambik, dan bermuara di Laut Hindia. Tak perlu lama mendengar penjelasan, perhatian para penumpang akan segera teralihkan dengan binatang-binatang liar yang ada di sekitar sungai. Kami mulai dengan seekor buaya ukuran kecil. Dari penjelasan Jackson Dube (58), pemandu di penangkaran buaya Zambezi Wildlife Sanctuary yang kami temui sebelumnya, kami memperkirakan usia buaya itu baru sekitar delapan bulan. Selanjutnya, berturut-turut tampak bangau afrika (Anastomus lamelligerus), egret (Ardea modesta), gajah, dan kuda nil. Kapal feri berkapasitas sekitar 40 penumpang selalu mendekat dengan hati-hati. Tak boleh terlalu dekat agar tak menakuti binatang atau membahayakan penumpang, tetapi juga tidak boleh terlalu jauh. Kemudian, kapal berhenti sejenak, memberikan kesempatan kepada penumpang untuk mengabadikan binatang- binatang yang hidup bebas di sungai. Tak cuma berhenti karena memantau hewan, tetapi kapal kami juga sempat terjebak di bagian sungai yang dangkal. Tak bisa maju ataupun mundur kendati kapten meminta semua penumpang berkumpul di satu sisi saja. Setelah beberapa menit, kapal petugas muncul dan menarik kapal kami. Perjalanan pun berlanjut. Delapan ekor kuda nil berukuran sedang mandi dan bercanda. Di tepi lainnya, kami menemukan sepasang kuda nil besar. Mereka menikmati dinginnya air dan tak mengacuhkan kami yang tak puas-puasnya memotret, baik dengan kamera SLR, kamera saku, maupun kamera di telepon genggam. Lepas satu jam, matahari mulai tenggelam. Semburat merah muda cerah bergradasi dengan warga biru yang mendekati permukaan air menggelap. Langit cerah. Matahari seperti piringan jingga yang menjadi primadona. Kali ini, semua mengalihkan perhatian dan arah lensa ke pemandangan alam ini. Tak puas-puas rasanya menikmati senja di langit yang bersih. Baru setelah matahari tenggelam, kapal kembali menepi ke A’Zambezi River Lodge. Menurut pengelola Tourism Services Zimbabwe, Gordon Mukangawa, terdapat belasan operator Sunset Cruise di Victoria Falls. Maklum, kota kecil di perbatasan Zimbabwe dengan Zambia ini adalah kota wisata. Andalannya adalah air terjun raksasa Victoria Falls dengan pelangi yang terus-menerus menghiasi tebing raksasa. Air terjun—tingginya bervariasi dengan bagian tertinggi 108 meter—ini juga merupakan bagian dari aliran Sungai Zambezi yang kami susuri tadi. Saking tingginya, percikan air terjun membentuk pelangi. Wisatawan yang ada di tepian tebing pun umumnya terkena percikan yang tampak seperti asap itu. Di musim penghujan, konon percikan terasa sampai tepian jalan yang cukup jauh dari tebing air terjun itu. Victoria Falls dan pesiar di Sungai Zambezi membuat wisata ke wilayah ini menjadi sangat memuaskan. Setelah lelah, kuliner khas Afrika pun tersedia. Selain di kafe di pusat kota, salah satu tempat mencicip makanan Afrika adalah The Boma. Restoran yang menyerupai pondokan-pondokan Afrika ini mengajak pengunjungnya benar-benar merasakan atmosfer Afrika. Sebelum masuk, pengunjung dipinjami selembar kain bercorak warna-warni yang diikatkan di salah satu bahu. Menu disediakan secara buffet. Makanan utamanya barbeque daging kudu, daging guineafowl, daging sapi, serta beragam sosis. Selain itu, daging kudu dan guineafowl juga disetup. Pelengkapnya, semacam tumis bayam dan tzatza—semacam adonan gandum putih. Sepanjang makan malam, penjaja lukis tubuh (body painting), cocktail, peramal, serta penata rambut Afrika berkeliling. Keriaan dibangun di akhir makan malam dengan mengajak penonton menabuh gendang bersama. Beberapa musisi dan penari memandu tabuhan dan diakhiri dengan menari bersama. Makan malam menjadi tak biasa. Akhirnya tak hanya mendapatkan pemandangan alam, cuaca bersahabat, dan binatang-binatang liar eksotik, wisatawan juga diajak menikmati suasana tradisionalnya.