Amanda Katili : Cinta Bersahaja untuk Kelestarian Dunia (2)

By , Jumat, 27 Desember 2013 | 13:55 WIB

“Saya mengikuti pelatihan di Montreal yang sebernarnya khusus untuk warga negera Canada. Tapi saya ingin sekali ikut, setelah minta rekomendasi beberapa pihak, akhirnya saya diizinkan ikut pada 4-6 April 2008,” tutur pengajar tamu di Massachusetts Institute of  Technology ini. Saat mendarat tengah malam yang dingin di kota kecil itu setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, “Saya sempat terpikir, untuk apa saya lakukan semua ini?“ kenang Amanda, “Ketika masih muda, kita memang telah belajar banyak. Tapi dengan berlalunya waktu, saya cari cara berhubungan untuk berkembang lagi.”

“Penyesalannya” terbayar oleh pelatihan tiga hari yang tak saja menyajikan materi benturan kepentingan manusia dan lingkungan hidup, tapi juga bagaimana membuat peragaan menarik dan menjawab pertanyaan pemirsa yang kebanyakan sudah menganggap sebelah mata duluan. Pada Al Gore dan the Climate Project, Amanda “berjanji” untuk sedikitnya melakukan 10 kali pemaparan sebelum April 2009 pada masyarakat Indonesia.

Di Canada, peserta termuda adalah anak usia 12 tahun. Namun pengalamannya di Indonesia, “Sebaiknya pemirsanya minimal SMA, yang cukup dewasa untuk memahami. Pernah kejadian, ada anak kecil menangis, takut membayangkan bencana yang mungkin menimpa tempat tinggalnya. Bagaimanapun, di mata anak-anak, dunia harus tetap terlihat indah,” tutur ibu tiga anak ini.

Belajar Justru dari Rakyat Kecil

Dalam rangkuman 10 halaman Curriculum Vitae-nya, Amanda mencantumkan keanggotaan pada Ikatan Profesi Lingkungan Hidup Indonesia dan Amerika Serikat. Menegaskan profesinya sebagai peneliti dan konsultan lingkungan hidup. Profesi yang relatif belum diakrabi masyarakat. Seperti apa sih kerjanya?

„Konsultan lingkungan hidup itu seperti jembatan penghubung pemerintah dengan perusahaan. Misalnya, diminta oleh lembaga internasional untuk meneliti kondisi lingkungan di Indonesia untuk evaluasi program bantuan sebelum bantuan tahap berikutnya diberikan. Menjadi penengah dalam sengketa lingkungan, membuat dan menyunting laporan dan dokumen lingkungan,“ papar penggiat Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) sejak 1999 ini.

Sebagai „detektif lingkungan“, Amanda harus turun langsung ke lapangan. „Sekitar 15 tahun lalu di Jakarta, saya pernah meneliti soal sampah di Jakarta atas permintaan sebuah LSM. Saya pun ngobrol dengan  tukang sampah, mengikuti truk sampah yang menjemput sampah dari perumahan sampai ke Bantar Gebang. Dua minggu saya amati diantar sopir. Yang saya kagumi, tukang sampah di Kemang, Jakarta Selatan tak memungut iuran sampah ke warga kampung. Sampahnya kan cuma sayuran, kata mereka. Retribusi mahal untuk rumah gedong saja yang sampahnya banyak.Tanpa perlu belajar formal ekonomi, mereka telah melakukan subsidi silang di kehidupan Jakarta yang keras.“

Christantiowati, dimuat di majalah INTISARI, 2008