Amanda Katili : Cinta Bersahaja untuk Kelestarian Dunia (4)

By , Jumat, 27 Desember 2013 | 15:05 WIB

Al Gore mengizinkan para muridnya yang telah bersertifikat the Climate Project  untuk memuat hal lokal. Misalnya, di Sulawesi ada yang bertanya, “Mengapa kita dikasih lihat salju padahal kita kan tak punya salju? Saya jelaskan, bahwa yang terjadi di belahan Bumi utara dan selatan akan berpengaruh ke khatulistiwa.”

Seperti cara kerja parfum. Kita hanya semprotkan sedikit di belakang telinga dan nadi, lama-lama harumnya menyelubungi tubuh bahkan menyebar ke ruangan di mana kita berada. Juga bak canary in the coal mine. Para pekerja tambang bawah tanah biasa membawa burung kenari ke lorong pertambangan. Bila burung kenari dari riang berkicau berubah lemas, mereka akan cepat-cepat keluar tambang. Ini semacam kearifan lokal alami, penanda bahwa udara segar di tambang menipis, atau ada bahaya gas beracun.

Sampai Juli 2008, Amanda telah melewati target janjinya pada Al Gore. Ia telah tampil di sekitar 20 acara di seluruh Indonesia dengan sekitar 3.000 pemirsa. Pengetahuan pemirsa kadang mengejutkan. Ada anak SMA yang melek Protokol Kyoto, sebaliknya, ada mahasiswa yang tak kenal Al Gore! Yang paling menggembirakan, para pemirsa ini langsung menerapkan ramah lingkungan. Misalnya, menghemat pemakaian kertas dan mengurangi plastik.

Green is in. Gaya hidup ramah lingkungan itu trend yang harus diikuti.

Keluarga yang Utama

”Saya ini seperti pohon tomat. Lemah, harus ditopang agar kuat tegak dan berbuah,“ tutur Amanda bersahaja tentang karier dan keluarga yang bisa berjalan seimbang. Di belakang pria dan wanita yang berhasil, selalu ada keluarga (besar) yang mendukung.

”Saya sungguh beruntung menikah dengan teman sekampus dari Teknik Mesin ITB, Ir Mochtar Niode M.Eng.Mgt Di keluarga besar kami, wanitanya sebagian besar bekerja, entah menjadi guru atau perawat. Begitu menikah, 30 November 1981 setelah lulus S1, sebenarnya saya tak terpikir untuk terus kuliah. Mengikuti suami yang sedang dapat beasiswa S2 di Amerika, saya ingin menikmati dulu jadi ibu rumah tangga, melahirkan Omar Taraki, 1 April 1984 sambil menerima jasa pengetikan di rumah. Suami yang justru mendorong saya terus ke S2, S3, malah dia yang kirim lamaran ke universitas-universitas.“

Putra kedua, Terzian Ayuba (3 September 1989) dan putri bungsu Karida Humaira (11 April 1994) lahir di sela-sela Amanda menuntut ilmu dan karier. “Saya pun sangat bersyukur beribukan Ilijana Sjarifa Uno. Saat sekolah di Amerika, hampir tiap masa ujian semester ibu datang, menemani, menunggui sambil masak yang enak-enak. Menjaga dan merawat anak-anak. Begitu juga dengan ipar saya, Dewi Rooseno yang membantu mengantar anak saya ke rumah sakit waktu saya sedang ke Hong Kong.“

Walau tampak terus meningkatkan diri, “Saya bukanlah pengejar karier harus terus-menerus. Ada kesempatan baik untuk saya, ya saya ambil dan jalankan. Tiada target ketat. Selalu ada jeda. Misalnya, setelah 15 tahun jadi peneliti di BPPT, tahun 2000 saya berpikir untuk keluar, cari suasana baru, tapi agar berat melepas. Akhirnya, saya minta cuti tiga bulan di luar tanggungan. Saya bawa anak-anak jalan-jalan keluar negeri. Pulang, akhirnya saya putuskan untuk keluar. Enak juga.melakukan sesuatu yang kita sukai. Menjadi peneliti mandiri, menjalankan perusahaan konsultan lingkungan PT Eco Bumi Nusantara.”

Christantiowati, dimuat di majalah INTISARI, 2008