Angin Perubahan dari Arab Saudi (2)

By , Senin, 30 Desember 2013 | 19:25 WIB
()

Sejak lama, Abdullah tampaknya menyeimbangkan hubungan dengan semua kalangan. Jika sedang tak menerima tamu negara atau duta besar, ia biasa menerima rakyat biasa hingga pukul 19.00. Lalu, tidur usai makan malam, dan bangun tengah malam untuk menyelesaikan pekerjaan hingga fajar. Perkembangan dunia ia pantau dari 33 layar televisi yang menyiarkan berbagai saluran di ruang kerjanya.

Semasa jadi putra mahkota, Abdullah melestarikan tradisi demokrasi langsung ala suku padang pasir Badui. Tiap Rabu, selama 1 – 2 jam ada kesempatan bagi 200 rakyat biasa untuk bertemu langsung dengan calon rajanya. Silakan mengadukan ragam persoalan–dari pembiayaan pengobatan, pekerjaan sampai memohon grasi bagi anggota keluarga yang dijatuhi hukuman mati.

Siapapun bisa menghadiri Majelis Reboan–kita sebut saja begitu–kecuali perempuan dewasa. Mereka menyampaikan pada perempuan anggota keluarga kerajaan yang akan meneruskan pada Abdullah atau kelompok perempuan pekerja sosial yang telah ditunjuknya.

Ada permintaan yang bisa langsung diselesaikan, misalnya, jaminan pengobatan gratis. Tapi sebagian besar dibawa ke kantor pangeran untuk dibahas lebih lanjut, misalnya keringanan atau penghapusan utang di bank karena usahanya bangkrut.

Banyak warga pengecap pendidikan Barat menilai demokrasi langsung ini sudah tak sesuai dengan persoalan warga dan Arab Saudi yang kian rumit. Tak seluruh rakyat terjangkau karena hanya diadakan di Riyadh.

Pompa minyak di Arab Saudi (Thinkstockphotos).

Bukankah lebih efektif jika persoalan diurus oleh departemen atau lembaga sipil terkait? Tapi bagi Abdurrahman al-Zamil, mantan Deputi Menteri Perdagangan, ini malah lebih efektif. Birokrasi terpangkas dan rakyat lebih suka. Permohonan warga yang disampaikan pada pangeran akan segera diteruskan ke departemen terkait paling lambat dalam seminggu. Jika tiada tindak lanjut berarti bencana bagi pejabat bersangkutan.

Pernah, seorang bapak menghadap justru untuk membela pembunuh anaknya yang akan dihukum mati dua hari lagi. Memang, Al Quran menyebutkan hukum qishas, nyawa dibayar nyawa, tapi lebih baik memaafkan dan tak menyimpan dendam. Orangtua si pembunuh langsung dipanggil. Pangeran memeluk pundak pria itu dengan mata berkaca-kaca dan orangtua si pembunuh menangis tersedu-sedu.

Abdullah mendengarkan keberatan tentang demokrasi langsung ini. Saat masa peralihan sebagai putra mahkota yang menjalankan tugas-tugas raja, ia memperbarui bertahap sistem demokrasi. Pada 13 Oktober 2003, diumumkan rencana menggelar pemilihan umum pertama dalam sejarah Arab Saudi untuk wakil-wakil di Dewan Pemerintahan Kota. Ini keputusan Dewan Kabinet menanggapi tuntutan yang menghendaki peran masyarakat yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.

Desakan perubahan telah bermunculan sebelum tragedi Menara Kembar WTC, 11 September 2001 yang mengguncang hubungan Arab Saudi - AS. Maklum, 15 dari 19 teroris yang dianggap terlibat dalam peristiwa yang masih tanda tanya siapa dalangnya itu, merupakan warga negara Arab Saudi.

Pemerintah dianggap terlalu patuh pada AS hingga menjerumuskan perekonomian nasional. Misalnya, memberikan izin pangkalan militer di Dahran sejak masa Perang Teluk dan membiarkan ratusan ribu pekerja asing berdatangan sementara anak muda Arab Saudi sendiri tak disiapkan menghadapi persaingan ketat ini. Desakan ini mungkin mengena bagi Abdullah, tokoh yang dikenal  pendirian kuat dan tak terlalu terpikat untuk dekat dengan dunia Barat.