Ambon-Lease: Terpesona Negeri Rempah (1)

By , Selasa, 31 Desember 2013 | 17:14 WIB

Sekali mengunjungi Ambon-Lease di sisa hangatnya pascakonflik, Agustus 2002, saya terus ingin kembali. Plus tiga perjalanan menyelami Ambon –Banda Naira, September 2005 - 2006, hanya ada satu kesan: di masa damai atau konflik, Tanah Maluku tetap manise.

Mengunjungi Maluku telah saya impikan sejak lama. Jadi, begitu ditawari jadi juru foto bagi tim Pusat Studi Wanita dan medis UKI (Universitas Kristen Indonesia) untuk tugas kemanusiaan di Ambon dan pulau-pulau kecil – Ambon Lease – tanpa honor, saya langsung mengiyakan.

Petualangan dimulai pukul 03.00 dini hari 20 Agustus 2002 di Bandara Halim Perdana Kusuma. Di perut C-130 Hercules, saya dan dr Onny memilih bagian tengah, di kursi jaring bersandaran kardus-kardus besar yang dibebat erat agar tak lari-lari. Pukul 05.00, take off sesuai jadwal, pukul 06.30 kami mendarat di Lanud Iswahjudi, Madiun. Lanjut ke Lanud Hassanudin, Makassar, pukul 09.30 WITA. Lama singgah sebenarnya sama, tapi ada kerusakan mesin, menunggu suku cadang dari Jakarta, keberangkatan dijadwal pukul 05.00 pagi esok hari. Setelah singgah di Lanud di Kendari, Sulawesi Tenggara, pukul 10.20 WIT kami pun mendarat di Laha, Pulau Ambon.

Ada tiga Pas-Khas, pasukan elite TNI-AU bersenjata laras panjang siaga di sekitar pesawat. Kijang rombongan dikawal Sutega, anggota Pas-Khas bersenjata. Kendati perdamaian memulih sejak Kesepakatan Mailino II, Februari 2002, sikap jaga-jaga super hati-hati masih diberlakukan. Di masa damai, cukup naik speedboat 10 menit menyeberangi Teluk Ambon. Tapi saat itu, naik speedboat masih rawan. Dari Lanud menuju pusat kota Ambon, terpaksa menelusuri jalan 28 km, kurang dari sejam memutari Teluk Ambon yang diapit Tanjung Nusaniwe dan Alang.

Kami melewati daerah hancur hangus Poka di kiri kanan jalan, termasuk rumah penduduk, gedung LIPI, Politeknik dan Universitas Pattimura yang dulu pusat ilmu kelautan termaju. Amat kontras dengan perairan biru Teluk Ambon yang berkilauan dan perbukitan hijau di kejauhan.

Kami menginap di Hotel Hero, persis di belakang kantor gubernur yang juga terbakar habis. Santap siang di rumah makan Dedes yang beberapa bagian dindingnya menampakkan bekas pantulan peluru. Ternyata perlu dua hari mengurus persiapan keberangkatan (perizinan, pengawalan, dan lain-lain) ke Pulau Haruku, tujuan utama kegiatan. Sambil menunggu saya dan dr Onny pun melencer keliling pusat kota. Sasaran pertama: pasar tradisional, selalu tempat tertepat mengenali nadi kehidupan warga setempat.