Ambon-Lease: Terpesona Negeri Rempah (3)

By , Selasa, 31 Desember 2013 | 17:30 WIB

Kami membiasakan diri mendengarkan curhat sesal warga mengapa terpancing konflik tiap kali mampir ke satu tempat. Suasana suram muram masih begitu terasa walau denyut perekonomian mulai normal. Semuanya tak bisa menutupi kekayaan bumi Maluku. Di pesisir Batu Merah, seorang nelayan memperlihatkan beragam teripang, besar-besar, jauh lebih besar daripada yang saya lihat langsung saat menyelami Kepulauan Seribu, Jakarta.

Dekat situ ada kompleks kerajinan “lukisan” cangkang mutiara. Saya mampir ke sebuah rumah perajin tenun khas Maluku dan membeli beberapa lembar. Di Museum Siwalima hanya tersisa sedikit cendera mata. Saya membeli hiasan meja dari kayu, tak tergoda dr Onny yang membeli kima kepala kambing yang dilindungi – walau saya yakin lautan Maluku kaya akan itu.

Motor pun mengarah ke selatan, 16 km sampailah di Pantai Namalatu, Latuhalat. Pasir putih dan karangnya indah. Kami mampir ke seberang jalan, ke hotel penginapan merana dan dive centre yang tutup karena pemiliknya hijrah ke Bali begitu konflik pecah. Di Latuhalat ini, kami mengunjungi Alex, nelayan yang biasa menembak ikan dengan spear gun dan masker bikinan sendiri dari kayu. Darinya kami dapat info mengkhawatirkan. Pasca konflik banyak tersisa mesiu, dan sejumlah nelayan mulai jalan pintas menangkap ikan dengan bom rakitan sendiri. Aduh!

Lalu kami ke ujung Tanjung Nusaniwe tempat mercu suar yang dibangun pada 1967 berada. Setelah minta izin pada Seth Lekatompesi (56) yang bergiliran jaga dengan pergantian petugas tiap tiga bulan, saya dan dr Onny pun memanjat menara setinggi 50m itu. Konon, dulu tingginya sekitar tiga kali lipatnya. Oh, ketika sampai di puncak rasanya puas sekali. Kami bisa memandang Pulau Ambon utuh ke segala penjuru.

Sepanjang jalan pulang kadang-kadang dr Onny menunjuk ke peninggalan Perang Dunia II yang bertebaran, gudang-gudang senjata. Di salah satunya, dr Onny menghentikan motor dan mengajak saya menjenguk masuk gudang gelap itu. Gelap, tapi masih ada yang tersisa, macam kotak peluru dari alumunium. Kalau dikelola dengan baik, gudang-gudang ini bisa jadi rangkaian wisata sejarah. Terakhir, kami berhenti di Batu Cipiu, karang yang bentuknya mirip huruf T, dan kian jelas di ambang senja yang memerah dari pantai.

Esoknya, kami menyewa mobil bersopir seharian keliling Pulau Ambon, Rp 75.000. Mampir ke kompleks Lantamal di Halong, dr Onny bernostalgia. Dari tempat tinggi ini, kita bisa melepas pandang ke Teluk Ambon, dengan kapal-kapal perang tertambat di bawah, dan perahu nelayan hilir-mudik. Di komplek ini saat itu sedang ada pemukiman sementara pengungsi. Sebagian yang aslinya pedagang dan perajin perhiasan kulit mutiara pun tetap menggelar dagangan. Kami menjenguk Pintu Kota, yang di Jawa biasa disebut Karang Bolong. Tiga tahun kemudian di masa damai, berkali-kali saya menyelami bawah lautnya. Kami mampir dari desa ke desa sepanjang Pulau Ambon.

Perbatasan antardesa masih dijaga tentara, masih berlaku jam malam, jadi kami selalu membuka jendela dan berhenti tiap kali. Benar-benar bak di medan perang. Ya, nikmati saja suasana istimewa itu. Kami terkejut-kejut kala mendengar musik keras dari tape yang terpasang di tiap becak yang hilir mudik. Warga Maluku memang gemar menyanyi dan mendengarkan lagu.

Omong-omong soal becak, ternyata konflik panjang sejak Januari 1999 itu ada hikmahnya juga. Kini warga setempat tak gengsi bekerja apa saja, tak harus jadi pegawai. Apa pun baik asal halal!