Qanun RTRW Aceh Disahkan, Aktivis Lingkungan Protes

By , Kamis, 2 Januari 2014 | 12:05 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan peraturan daerah (qanun) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033 pada 27 Desember 2013 di Banda Aceh. Aktivis lingkungan protes karena terjadi pengurangan luas hutan Aceh, penghilangan penyebutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan tak memasukkan hak kelola mukim sebagai masyarakat adat di sana.

Abdullah Saleh, Ketua Panitia Legislasi DPR Aceh mengatakan, DPRA dan pemerintah secara subtansi menyepakati RTRW dan mengesahkan melalui rapat paripurna. Meski sudah disahkan, qanun belum berkekuatan hukum karena masih menunggu persetujuan Kementerian Dalam Negeri untuk dievaluasi. “Qanun RTRWA salah satu yang harus mendapat persetujuan pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri untuk dievaluasi agar sesuai RTRW nasional,” katanya.

Menurut anggota dewan dari Fraksi Partai Aceh ini, pembahasan qanun sudah final, tetapi akan diperbaiki jika ada saran dari Kemendagri. “Mungkin perbaikan hanya aspek teknis, tapi tidak substantif karena RTRWA sudah final, dan dibahas melibatkan semua elemen masyarakat Aceh.”

Pembahasan qanun RTRWA, sudah berlangsung sejak 2005, saat Aceh rehabilitasi dan rekontruksi setelah sebagian besar wilayah pesisir hancur karena gempa dan tsunami. Pada masa Gubernur Irwandi Yusuf, RTRWA mengakomodir penambahan luas hutan lindung Aceh hingga 800 ribu hektare. “Usulan ini mendapat penolakan dari kabupaten dan kota yang wilayah hutannya diperluas, hingga pembahasan tarik menarik sangat kencang.”

Pada masa Gubernur Zaini Abdullah,  RTRW dituding melepas hutan lindung cukup luas hingga diserang aktivis lingkungan.

Saat ini, baru 14 provinsi di Indonesia menyelesaikan RTRW. RTRWA sudah mendapat persetujuan subtansi dari Kementerian Pekerjaan Umum pada Januari 2012, dan ditelaah Tim Terpadu Kementerian Kehutanan. Tim terpadu menyetujui Aceh mengubah fungsi hutan seluas 145.982 hektare, termasuk hutan lindung dan konservasi menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 79.179 hektare. Lalu, penunjukan kawasan hutan baru seluas 26.465 hektare.

Koalisi Penyelamatan Hutan Aceh (KPHA) melancarkan demontrasi di DPRA pada 30 Desember 2013 lalu, memprotes pengesahan RTRWA. Efendi Isma, juru bicara KPHA, saat ini ada 1,6 juta hektare lahan kritis di Aceh harus menjadi skala prioritas menjadi lahan budidaya dan pemukiman. Jadi bukan dengan membuka hutan baru. “Poligon-poligon yang diusulkan diubah status hutan menjadi APL masih bermasalah secara hukum dan tidak diselesaikan oleh pemerintah.”

KPHA mensinyalir, perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi APL berkaitan dengan usaha perkebunan dan pertambangan di beberapa tempat seperti di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Selatan dan Aceh Tenggara. “Proses penyusunan RTRW Aceh diduga menjustifikasi pelanggaran tindak pidana kehutanan terhadap izin-izin HGU di hutan lindung,” ucap Efendi.

Dede Suhendra dari Forum Tataruang Sumatera mengingatkan komitmen Pemerintah Aceh yang menandatangani Peta Jalan Penyelamatan Sumatera bersama sembilan provinsi di Sumatera pada Juni 2009. Mereka sepakat mengembangkan tata ruang berbasis ekosistem, restorasi daerah kritis, perlindungan kawasan bernilai tinggi.

Dia mengatakan, RTRWA harus melindungi kawasan biodiversity Aceh yang sangat luas. RTRWA seharusnya melindungi kawasan-kawasan rawan bencana dan memastikan perlindungan kawasan kelola masyarakat adat (mukim).

Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar adalah salah satu kelompok masyarakat adat yang selama ini berjuang mendapat pengakuan hak kelola mukim di sana. Asnawi Zainun, Sekretaris Mukim, RTRW Aceh harus memberi pengakuan hak kelola mukim atas wilayah administrasi yang meliputi hak kepemilikan, hak akses dan pemanfaatan dan hak pengaturan. “Dari awal penyusun RTRWA, pemerintah tidak melibatkan mukim salah satu pemangku kepentingan adat di Aceh.”

Kritisi para aktivis lingkungan terhadap qanun RTRWA juga pada penghilangan pencandangan kawasan hutan Ulu Masen sebagai kawasan strategis provinsi seluas 750 ribu hektare. Lalu, tak ada pengakuan KEL sebagai kawasan strategis nasional. Ulu Masen dan KEL merupakan bentang hutan hujan tropis Aceh yang kaya keragaman hayati.

Pada November lalu, M Nur,  Direktur Eksekutif Walhi Aceh, sudah melayangkan petisi online melalui Change.org kepada Gubernur Aceh untuk melindungi KEL dari kerusakan. Petisi yang sudah didukung 14.835 orang itu mendesak gubernur tidak meloloskan keputusan yang akan memberikan izin pengembangan budidaya di KEL.