Mendaki Gunung, Sarana Pendidikan Karakter Alami (1)

By , Jumat, 3 Januari 2014 | 10:00 WIB

Bisa jadi, keputusan saya dan suami adalah kontroversial: yaitu mengajak anak kami sejak usia 2,5 tahun untuk naik gunung, bahkan di musim hujan sekalipun. Sebagian yang tidak mengenal kami secara dekat mencibir, bahkan tak jarang, mengatakan kami orang tua egois. Sementara itu, sebagian lainnya bilang salut dan mendukung. 

Kami berdua tentu tahu risiko itu. Maka, lepas dari kontroversi setuju dan tidak setuju, saya tetap berupaya memaparkan alasan saya mengajak anakmendaki gunung.

Semua orang tahu, mendaki gunung kerap identik dengan kegiatan nan "heroik". Bahkan, ini dianggap olahraga yang menyerempet bahaya, dan tentu saja— kematian.

Memang, semua itu benar adanya, terutama jika dilakukan tanpa bekal pengetahuan yang cukup dan persiapan matang. Bukan apa-apa. Mendaki gunung adalah aktivitas yang jelas-jelas melibatkan kegiatan fisik berat di tengah alam yang sulit ditebak kondisinya. 

Seperti kegiatan di alam bebas lain, sejatinya pendakian gunung memiliki banyak bahan pengajaran pendidikan karakter yang pastinya dibutuhkan seseorang jika ingin sukses dan bahagia dalam hidupnya. 

Kata "karakter" di sini maksudnya bagaimana seseorang menampilkan kebiasaan positif dalam menyikapi segala kejadian yang dihadapinya dalam kehidupan. Kebiasaan positif itu tentunya dapat dipelajari dan perlu dibangun. Melalui kegiatan mendaki gunung, seseorang dapat membangun karakter positif dirinya dengan alamiah.  

Mendaki gunung bukan kegiatan impulsif karena kegiatan ini mengharuskan seseorang melakukan persiapan dengan baik. Maka, seseorang yang hendak melakukan aktivitas ini sebenarnya telah belajar banyak hal positif, bahkan sejak persiapan awal dilakukan.

Persiapan itu di antaranya meliputi penentuan tujuan, merancang target perjalanan, mencari tahu support system yang ada (misalnya letak rumah sakit terdekat), mempelajari tips dan penanganan darurat ketika menghadapi kondisi darurat, atau membuat daftar peralatan dan perbekalan yang dibutuhkan untuk mendaki.

Secara sadar, tentu saja, melakukan persiapan perjalanan pendakian akan melatih seseorang terbiasa untuk tidak gegabah dan selalu penuh perhitungan di setiap langkahnya. Dua hal ini pasti dibutuhkan dalam menjalani petualangan kehidupan sehari hari. Dengan melakukan perencanaan, seseorang juga belajar bertanggung jawab atas segala aktivitas yang akan dilakukannya. 

Kedua, soal cinta terhadap alam dan lingkungannya. Rasa cinta pada alam tidak bisa tumbuh hanya dengan melihat brosur perjalanan wisata atau menonton televisi. Soe Hok Gie pernah menuliskan bahwa, "Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan, mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat".

Dalam perjalanan mendaki gunung, seseorang disuguhkan pada keindahan dan kemegahan alam pegunungan. Dengan hadir secara langsung, dekat dengan alam, semua panca indra terlibat untuk membuktikan alam begitu indah sehingga kita bertanggung jawab untuk selalu memeliharanya. 

Ya, seseorang akan dilatih untuk penuh cinta pada lingkungannya, terasah untuk bertanggung jawab pada dunia. Tak membuang sampah sembarangan atau merusak ekosistem yang ada menjadi pelajaran paling sederhana namun sangat penting.

Sementara itu, pelajaran ketiga bisa diambil dari mendaki gunung adalah tentang disiplin, tanggung jawab, tidah mudah putus asa, serta berani mengambil keputusan dengan tepat. Karena, ketika melakukan pendakian, seseorang dihadapkan pada banyak tantangan. 

Medan perjalanan sudah pasti menanjak, tidak rata, dan pastinya menguras tenaga. Jalur pendakian kerap tidak begitu jelas, dan banyak kali ditemukan persimpangan. Sering kali jurang terbentang di kiri atau kanan jalan setapak, menghentikan rencana perjalanan. 

Belum lagi udara dingin menggigit, sementara oksigen yang kian tipis membuat napas menjadi lebih berat dan tersengal. Untuk itulah, seseorang yang mendaki gunung diharuskan membawa perlengkapan maksimal dalam sebuah tas ransel. Artinya, butuh perjuangan keras untuk melakukan pendakian dengan beban yang dipikulnya untuk mencapai tujuan: puncak gunung.