Biar "Jelek", Asal Bekerja (2)

By , Senin, 6 Januari 2014 | 15:09 WIB

Fakta lain, perempuan dalam budaya masyarakat tertentu sebenarnya sudah lama berperan sebagai kepala keluarga. Sensus Penduduk 1997 menunjukkan, satu dari sembilan rumah tangga dikepalai wanita.

Sedangkan empat dari lima wanita kepala rumah tangga itu berstatus janda dan dua dari tiga wanita kepala rumah tangga itu tak pernah bersekolah atau tak lulus Sekolah Dasar. Dari 4,3 juta rumah tangga miskin, 500.000 di antaranya dikepalai wanita.

Secara tradisional, agama dan hukum konvensional pun tak menutup kesempatan istri untuk mencari nafkah, karena suami dan istri setara dalam hak dan kewajiban. Dalam Islam dinyatakan dalam Al-Quran (Al-Baqarah ayat 187 dan An-Nisaa ayat 34). Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai saudagar, yang banyak membantu keuangan dan moral suami dalam menyampaikan wahyu. Di sisi lain, istri Nabi yang lain, Aisyah bersaksi, Nabi tak segan-segan membantu pekerjaan rumah tangga, seperti menjahit baju atau membetulkan sandal yang rusak.

Artinya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, wanita dan pria punya peluang sama untuk bersaing dalam pelbagai bidang kehidupan. Masalahnya, jika istri menjadi pencari nafkah utama, apakah kewajiban suami sebagai kepala keluarga lantas gugur begitu saja? Pasti tak semua wanita sepakat. Kalau faktornya karena suami sakit atau terkena PHK ketika usia sudah mendekati atau di atas 50 tahun, istri biasanya pasrah. "Memang sudah 'masanya', mau apa lagi?" Mungkin begitu kata para istri.

Yang "menggemaskan", bila suami sebenarnya masih mampu, tapi terkesan tak mau lagi menafkahi. Data Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta menunjukkan, pada 2004 ada 11 kasus yang mempersoalkan suami tak memberi nafkah, karena menyeleweng atau terkena PHK. Sedangkan pada kasus perceraian yang diadukan, 80 di antaranya karena faktor nafkah pula. "Kebanyakan para suami beralasan, cari kerja lagi kan enggak gampang," tutur Astuti Liestianingrum, pengacara dari LBH APIK. Jangan anak jadi korban Komunikasi menjadi salah satu faktor kunci. "Komunikasi suami-istri itu mudah dikatakan, sulit diwujudkan," tutur psikolog Winarini Wilman. "Jadi, sebaiknya minta bantuan profesional, seperti psikolog atau konsultan perkawinan sebagai pihak ketiga yang bisa bersikap netral, sebelum masalahnya berkembang lebih rumit. Misalnya, jika suami mulai berdalih dan menyalahgunakan ayat-ayat dalam agama, misalnya dengan menyitir 'rezeki datangnya dari Tuhan'. Tuhan memang memberi rezeki, tapi tak akan dijatuhkan begitu saja dari langit."

Di sisi lain, mungkin saja, "Tampaknya suami hanya leha-leha, bersenang-senang. Namun, ia sebenarnya tak benar-benar senang. Alasan mengapa ia kehilangan pekerjaaannya harus dilihat dulu. Apakah karena perusahaannya bangkrut atau karena prestasi dan kinerjanya buruk. Kalau karena hal terakhir dan ia hanya bersenang-senang, berarti kepribadiannya memang tidak atau belum matang. Ia lari dari situasi yang tak sanggup ia atasi," bilang Winarini.

*Artikel ini pernah diterbitkan dalam Majalah INTISARI.