Merajut Mimpi dari Danau Sentani (1)

By , Kamis, 9 Januari 2014 | 14:07 WIB

“Tanpa pendidikan, kita tak dapat berbuat apa-apa.” Kalimat Selvianus Melky Puraro, guru SD Pulau Asei, tengah Danau Sentani, Papua ini mengingatkan saya pada WARSI & Butet Manurung yang mengajar anak-anak Orang Rimba di Bukit Tiga Puluh, Jambi; Laskar Pelangi (2008) di Belitong, bahkan RA Kartini dari Rembang, Jepara. Bagimu anak-anak terpencil penggapai mimpi, guru-guru yang mendekatkan mimpi itu, dan Anda, Pembaca, kami berbagi cerita ini.

Langit kelabu dan satu dua titik air menerpa jendela Garuda Indonesia ketika kami mendarat di Bandara Sentani, Sabtu, 13 Desember 2008, pukul 08.00 WIT. Sepuluh jam perjalanan dari Jakarta. Mentari yang sembunyi dan titik hujan yang kian menderas berlanjut saat kami bermobil ke selatan kota Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura. Lewat jalan aspal mulus tanpa banyak kendaraan melintas, kami tiba pukul 10.00 WIT di dermaga Danau Sentani di Distrik Sentani Timur, sekitar 10 km dari Jayapura, ibukota Papua.

Ada halte di dermaga yang ditambati dua speedboat. “Kita akan menyeberang ke SD di puncak bukit itu,“ tunjuk Agustinus dari Pertamina area Jayapura ke Pulau Asei yang samar-samar, berjarak beberapa ratus meter di tengah danau, tersaput kabut putih abu-abu.Yang jelas adalah atap gereja di sisinya, dan perkampungan rumah panggung penduduk di tepian danau.

Sementara Agustinus menghubungi pengemudi speedboat lewat telepon genggam, dari arah pulau ada perahu lencir panjang mendekat, dan berhenti beberapa puluh meter dari dermaga. Si ibu di perahu berhenti mendayung, dan menebarkan jaring insang.

“Itu hayi, perahu perempuan. Iva, perahu lelaki lebih ’kurus’ lagi, lebar benar-benar hanya cukup untuk duduk satu orang, satu perahu maksimal menampung tiga orang,“ ujar Agustinus tentang si ibu yang beberapa kali mendayung menggeser posisi perahu beberapa puluh meter, mengejar ikan-ikan macam kayou/khabehei alias gabus Sentani (Oxyeleotris heterodon) dan pelangi Sentani (Chilatherina sentaniensis) yang hampir pasti terlihat dari kebeningan permukaan yang rata seperti kaca.

Datang lagi perahu, kali ini dengan lamat-lamat bunyi mesin tempel dimuati tiga orang. Perahu menepi, dua ibu, salah satunya tengah hamil, turun ke darat. Si pembawa perahu bolotu, yang lebih panjang dan lebar dari hayi, tenyata remaja putri.

“Saya Beatrix, kuliah di Fakultas Ekonomi, Uncen (Universitas Cenderawasih),“ katanya tersenyum, alih-alih menjawab pertanyaan saya, berapa ongkos mengantar jemput ke pulau. Saya tak berusaha mengganggu Beatrix yang langsung mengarah balik ke pulau. Bentang air tak menghalanginya sekolah ke jenjang tinggi.

Bersama dua penumpang lain yang telah menunggu di dermaga, seorang bapak dan ibu yang keduanya bermulut merah karena terus mengunyah pinang, kami menuju pulau dengan speedboat. Tak sampai lima menit, kami telah merapat ke dermaga Pulau Asei.