Kesan rapi dan cukup sejahtera segera menyambut. Ada aula terbuka milik bersama warga, dan deretan rumah panggung yang beberapa di antaranya berdinding gaba-gaba, tulang daun sagu. Babi, yang hitam atau putih, seperti anjing saja, binatang peliharaan sehari-hari. Bebas bermain seputar rumah, tak mengganggu manusia. Asyik mencari makan sendiri, mengendus tanah, mengorek-ngorek sampah bahkan mencari ikan di kaki tiang-tiang parabola yang menghias hampir tiap rumah, layaknya perahu yang tertambat di tepian danau. Banyak keramba ikan mujaer. Ada rumah yang menggantungkan tangkapan ikan gabus.
Kampung hanya satu deret lurus, menyisakan setapak selebar lima meteran, langsung berbatas dengan kaki bukit. Kami susuri setapak ke tujuan kami : SD YPK Filadelfia di puncak bukit, persis di sisi gereja, yang berdiri sejak awal 1960-an untuk mempermudah anak-anak agar tak bersekolah di tanah besar (daratan seberang danau).
Hanya ada tiga ruang kelas untuk enam jenjang. Tapi rasanya sesuai dengan jumlah muridnya. Kelas 1, 2, 3 dan 4 masing-masing 12 murid, kelas 5 dan 6 masing-masing 8 murid. Masing-masing ruang menampung dua kelas yang hanya disekat dengan kayu lapis tegak 1,5 m.
Hari itu, adalah hari terakhir pelaksanaan ulangan umum. Jadi, tiada kegiatan belajar mengajar. Saat kami tiba, seluruh murid sedang berkumpul di satu ruangan, berdoa dipimpin Selvianus Melky Puraro, guru paling senior. Walau tampak sangat sederhana, ruang-ruang kelas berjendela nako itu tampak layak sebagai ruang belajar. Di sela-sela gerimis yang kadang menderas, tiada bocor dan ancaman langit-langit runtuh seperti nasib sejumlah sekolah yang kadang dilaporkan di media massa. Meski tak semua bersepatu, hanya bersandal atau bertelanjang kaki, suasana tertib namun akrab tetap meruap.
SD berkepala sekolah wanita, Oktavina Ohee ini memiliki enam guru : Selvianus Puraro, Konni S Puraro, Septhinus Ongge, Paulina Asabo, Hendrawati M Nene, Manyam M Modouw. Jadi, masing-masing kelas telah dipegang oleh satu guru, tak merangkap-rangkap laiknya di daerah terpencil.
Pulau Asei yang dihuni 320 kepala keluarga dengan paling banyak 6 anak/keluarga ini semua bersekolah, termasuk anak perempuan. Ada iuran Rp 1.500/anak/bulan, dan ada 15 murid yang mendapat beasiswa sampai menyelesaikan sekolah dasar dari Pertamina Foundation. Semangat belajar tinggi. Murid disaring dari kenaikan kelas. Kadang-kadang ada yang tak naik kelas. Pada ujian negara 2007, SD ini termasuk 10 besar dari 100-an SD di Kabupaten Jayapura.
Kami bersama Magda, Riani dan Musa, ketiganya dapat beasiswa, pindah ke bangunan sebelah, ruang guru dan kepala sekolah. Di sini pula ada “perpustakaan” yang hanya berupa satu rak besi berisi buku-buku pelajaran yang disediakan Dinas P&P (Pendidikan dan Pengajaran) Jayapura.
“Bantuan di Dinas P&P sering diambil duluan oleh SD yang lebih dekat ke kota. Tak ada jatah khusus untuk tiap SD, siapa cepat dia dapat,” sesal lembut Selvianus Puraro.
Tiada satu buku bacaan pun. Dengan rencana keberangkatan yang termasuk mendadak, saya jadi menyesal membawa terlalu sedikit majalah Intisari, National Geographic Indonesia dan satu set tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov untuk mereka.
Magda, Riani dan Musa langsung membolak-balik halaman majalah dan buku itu. Ketertarikan untuk langsung melahap bacaan, luar biasa. Siapa sih yang bilang, anak Indonesia tak gemar membaca?