Merajut Mimpi dari Danau Sentani (3)

By , Kamis, 9 Januari 2014 | 14:31 WIB

Riani yang berambut lurus adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, beribukan warga Papua dan ayah Bugis/Makassar dari Enrekang. Magda yang hitam manis dengan rambut ikal kental dan gigi rapi putih bersih adalah sulung dari enam bersaudara. Sosoknya jangkung, jauh lebih tinggi dari Musa yang seumur, 11 tahun. Musa yang juga murah senyum dan ramah adalah anak ke-3 dari 6 bersaudara

Di luar kegiatan belajar di sekolah, kadang-kadang sekolah mengadakan widyawisata untuk mengenal berbagai profesi. Misalnya, mengenal mesin jahit dan bengkel, juga mengunjungi museum. Dari pulau, rombongan menyeberang dengan feri (speedboat) lalu naik bis.

Kelak ketika lulus SD, Riani, Magda, Musa dan kawan-kawan harus menyeberang dengan perahu untuk memasuki SMP di Kampung Harapan. Sekolah lanjutan tingkat atas lebih jauh lagi, ke kota Sentani atau Abepura.

Saya tak menyangsikan bahwa Magda akan mencapai cita-citanya jadi Polwan, dan impian Musa jadi pesepakbola dunia. Seperti yang telah ditunjukkan Beatrix di awal pandangan saya dengan Danau Sentani. Luasan danau adalah penghubung pendidikannya ke Jayapura. Bukan pembatas.

Anak-anak Ceria

Malu-malu, matahari akhirnya mengatasi awan kelabu. Danau pun tak lagi memutih abu-abu. Anak-anak yang tetap berseragam putih merah itu satu satu berlonjakan keluar kelas. Hari-hari mereka dikelilingi pulau-pulau berbukit hijau yang sepanjang pagi jelang siang itu selalu digayuti kabut awan rendah. Indah ....

Kami mengikuti Magda, Riani, Musa ke sebuah rumah panggung. Sepulang sekolah pk 08.00 – 11.00, Magda dan kawan-kawan biasanya langsung mengukir dan melukis di kulit kayu kombow  yang daunnya mirip jati. Kulit pohon dikelupas, ditumbuk, di-press kering dengan dijemur satu hari. Dulu, kulit kayu kombow digunakan sebagai pakaian, pembungkus jenazah, dan alas penaruh kapak batu dalam perundingan mas kawin. Lukisannya banyak bercorak mitologi, lambang kekerabatan, marga, nilai suci kematian, hal-hal keseharian masyarakat Sentani. Kini, corak banyak ditujukan untuk melayani cendera mata wisatawan. Bercorak ragam hias, burung, ikan, dan keluarga reptil macam cicak atau tokek.

“Sehari rata-rata bisa selesai 10 lukisan pakai cat merah, kuning, putih, hitam,“ kata Magda. Selain dibeli langsung pengunjung yang kadang-kadang datang, kebanyakan lukisan dijual ke Pasar Hamadi yang mengkhususkan pada cendera mata. Satu lukisan ukuran 20x30 cm dijual Rp 15.000.

Di luar kegiatan seni penambah uang saku yang mereka lakukan dengan senang hati itu, mereka sama dengan anak-anak di manapun. Manusia bermain. Dilahirkan di tepi danau, mereka sudah dapat berenang sejak kecil, lelaki perempuan main perahu, memancing, main kasti bersama. Dunia ceria.