Merajut Mimpi dari Danau Sentani (4)

By , Kamis, 9 Januari 2014 | 14:54 WIB

Malamnya, saya bertemu lagi dengan Selvianus Puraro dan murid-muridnya itu di Gelanggang Olahraga di Jayapura. Nonton bareng Laskar Pelangi. “Saya lahir 23 Oktober 1954 di Yahokimo, Wamena,” pak guru membuka percakapan.

Yahokimo? Yang pernah mengalami bencana kelaparan merenggut puluhan jiwa itu?

Sulung dari lima bersaudara itu mengiyakan. ”Tapi saya tak dibesarkan di sana sebab orangtua segera pindah. SD saya di Kampung Harapan, dilanjutkan ke SMP YPK Nimborang. Saya pun senang pindah, berikutnya, saya memilih ikut sepupu dan masuk ke SPG YPK Biak. Saya ambil jurusan IPS dan bahasa, lulus 1984.“

Setelah mengajar beberapa tahun, dan menikahi Louisa pada 1984 yang memberinya enam anak yang semuanya lahir di Jayapura, Selvianus sebenarnya berniat melanjutkan pendidikan ke Universitas Cenderawasih. Tapi panggilan tanah kelahiran memilihnya untuk memasuki sekolah kehidupan : selama 1987 – 1994 menjadi guru di SD YPPGI di Ninia, Yahokimo, Wamena. Sendirian diselimuti salju. Ninia berarti sarang segala sesuatu

“Di sana hanya ada tiga guru, kerja kami rangkap-rangkap, apalagi kalau ada yang giliran ke kota,“ kenang Selvianus, “Murid kami sekitar 200 orang, lelaki dan perempuan. Satu kelas ada 20-an orang dengan bahasa lokal, bahasa Yali dari Suku Yali, di bagian selatan Lembah Baliem. Karena saya tak paham, awalnya tiap mengajar selalu pakai penerjemah. Orangtua yang mahir bahasa Indonesia turut mengajari. Kalau matematika, para murid langsung menangkap yang saya maksudkan. Kayu, batu botol, buah jadi alat peraga lokal untuk menghitung. Tapi untuk pelajaran bahasa Indonesia dan IPS, kami “bicara” dengan isyarat.”

Anak-anak dan orangtua di pedalaman harus berjuang keras agar dapat terus sekolah. Fasilitas belajar-mengajar macam buku tulis dan bacaan – harganya berlipat di daerah terpencil karena minimnya transportasi – minim. Kadang-kadang, semuanya seperti lingkaran setan. Pada Februari-Maret 2005, misalnya, 1.815 guru mogok mengajar, menuntut hak macam tunjangan guru di daerah terpencil dan tunjangan kemahalan segera dipenuhi pemerintah Kabupaten Jaya Wijaya. Sekitar 6.000 siswa pun terpaksa mengisi waktu dengan kembali ke kampung membantu orangtua di ladang, atau bekerja di toko-toko warga pendatang di Wamena.

Para murid dan orangtua mereka berusaha sendiri meneruskan kegiatan belajar-mengajar. Padahal, demi bersekolah, anak-anak itu terpaksa dititipkan orangtua di kerabat di kampung, sementara para orangtua mengembara mencari makanan di hutan. Suatu kebiasaan di pedalaman yang masih tergantung penuh pada alam.

Adalah pemandangan biasa di Yahokimo, orangtua berdiri menunggu anak-anak di sekitar gedung sekolah, menjemput untuk mengajak mencari makanan di hutan. Bayangkan, betapa kerasnya usaha yang mereka lakukan untuk dapat melanjutkan pendidikan ke SLTP, SLTA di Wamena dan Jayapura.

 Janias, anak Pegunungan Jayawijaya yang sendirian 10 hari menempuh gunung, lembah, sungai agar bisa sekolah di balik gunung, Tembagapura, yang mengilhami film Denias, Senandung di atas Awan (2006)

 Ada pesawat missionaris MAF tiga bulan sekali. Berarti guru atau petugas medis yang mau ke kota harus siap di Lapangan Terbang Sela. Pesawat pk 06.30 mendarat, bongkar muat langsung terbang lagi. Soalnya pk 07.00-08.00 sudah tertutup kabut, pesawat tak bisa terbang.

Selvianus memang tak sempat mengalami paceklik parah yang terjadi pada 1995, dan saat musim kering panjang 1999 yang berlangsung setahun. Biasanya musim kering hanya Juni – Juli. Ubi yang ditanam jadi hitam-hitam, tak ada sumber kehidupan, mati, terpaksa lari. Ini daur 5 – 10 tahun sekali. Kena lagi 2005. Banyak yang meninggal. PBB sampai turun tangan.

Bencana kelaparan Kabupaten Yahokimo, Desember 2005 mengakibatkan 55 orang meninggal dan 112 sakit karena kelaparan. Yahokimo yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya, hanya bisa dicapai lewat udara, dengan Cessna milik MAF, atau helikopter. Karena faktor alam, berupa kekeringan panjang atau curah hujan terlalu tinggi yang menggagalkan panen ubi, pisang, kelapa, sejak 1976 terjadi bencana kelaparan berdaur lima tahun sekali walau belum pernah separah itu.

Pulang dari Wamena, selain mengajar, Selvianus pun  bercocok tanam. “Bikin kebon keluarga yang dirawat bersama tiga anak, adik dan ipar. Ada sekitar 2 ha kebon kakao, 2 ha sagu, 1,5 ha atau 100 pohon kelapa dan 1 ha atau 200 pohon pinang. Pada 2001 pernah belajar budidaya vanili di Manado.”