Merajut Mimpi dari Danau Sentani (5)

By , Kamis, 9 Januari 2014 | 15:07 WIB

Kita mengajar itu sebenarnya juga belajar. “Saya bisa sedikit-sedikit bahasa Belanda, Inggris,“ Selvianus menunjukkan soal Yali pada buku Indonesian New Guinea Wes Papua/Irian Jaya susunan Kal Muller.

Guru yang baik kadang bisa diukur dari pencapaian murid-muridnya. “Ones Pahabol, bupati Yahokimo sekarang yang dilantik pada 28 Oktober 2005 adalah murid pertama saya yang jadi bupati. Didimus Yakuly, ketua DPRDYahokimo juga murid saya,” tutur Selvianus bangga tanpa nada membanggakan diri, “Lalu ada enam murid yang kini berprofesi paramedis, pendeta, dan sedang melanjutkan studi S2 dan S3 di Australia.”

Danau Sentani

Terletak sekitar 70 – 90 m dpl, kawasan tadah hujan Danau Sentani meliputi sekitar 740 km2, yang termasuk dalam 245.000 ha Cagar Alam Pegunungan Cycloops, dengan luas Danau Sentani sekitar 110 km2 atau 9.630 ha, sepanjang 24 km dan lebar hingga 12 km, berkedalaman sampai 175 m, berjarak 6 km dari Teluk Yotefa. Danau vulkanik Sentani adalah muara dari 14 – 35 sungai besar dan kecil yang kemudian dihilirkan ke Sungai Jaifuri Puay di ujung tenggara. Ada 16 – 21 pulau bertebaran berbukit-bukit dengan ketinggian 200 – 30 m di tengah danau yang menampung 24- 26 kampung dari 12 subdistrik (kecamatan) dengan rata-rata kepadatan 14 – 148 orang/km2.

Pulau Asei di Sentani Timur yang dulu dikenal sebagai Pulau Para-para Adat adalah satu dari tiga pulau terpenting sebagai pusat sejarah pertumbuhan adat tradisional, selain Pulau Ajau (Sentani Tengah) dan Pulau Yonokom (Sentani Barat). Pada 19 – 22 Juni 2008, Pulau Asei menjadi tuan rumah Festival Danau Sentani yang baru pertama kali diadakan dan dijadwalkan menjadi agenda tahunan.

Orang Sentani Timur atau Heram Rasim terbentuk dari penduduk yang sejak dulu telah mendiami Bukit Yomokoyo-Waliyauyo, dan pendatang dari Irian Timur, Papua Nugini. Yo, masyarakat kampung Sentani dirintis oleh marga Asabo dan Pow, dengan beberapa imyea (rumah) di bawah ondofolo/ondoafi (ketua adat).

Sentani, adalah penyebutan pendatang. Pertama kali disebut pada 1896 oleh GL Bink, pendeta Zending Protestan dari Belanda dalam laporannya, Drie Maanden aan de Humboldt Baai usai kunjungannya pada 1893 di pos pelayanan Pulau Metudebi, Teluk Yotefa. Suatu hari, ditemani pemandudari Kampung Nafri, Abepura Pantai dan penduduk Sentani Timur, Bink melintasi perbukitan dekat perbatasan wilayah adat Nafri Tobati dan Sentani Timur. Orang Sentani Timur menunjuk ke dataran rendah tepian danau yang indah berkilau memantul sinar mentari tengah hari. “Heram Ndane (di atas tempat ini kami tinggal),“ katanya pada orang Nafri. Istilah ini direkam GL Bink, yang entah mengapa, mengejanya jadi Sentani. Orang Sentani biasa menyebut tempat tinggal mereka, phuyaka atau phuyakhala..