Kita pernah tergugah soal Blood Diamond, pertambangan intan yang tak ubahnya perbudakan di Afrika, yang pernah diangkat ke layar lebar dan menggugah kesadaran banyak orang akan pentingnya memastikan bahwa perhiasan kita bukan dihasilkan dengan mengorbankan nyawa penambang.
Walau masalah pertambangan di Indonesia berbeda dari Afrika, mungkin kita yang merupakan negeri cincin api kaya tambang bisa mengambil benang merah proses penyelesaian sengketa pertambangan macam itu.
Pengumuman Intel, bahwa setiap mikroprosesor yang dikapalkan dihasilkan tanpa sengketa pertambangan di Afrika menyentak sisi kemanusiaan dan profesional fotografer Marcus Bleasdale. Ia menghabiskan satu dekade mendokumentasikan kondisi brutal di Republik Demokratik Kongo (DRC).
Bleasdale membawa masalah ini ke mata dunia – pekerja , termasuk anak-anak bekerja keras dalam kondisi brutal di tambang diawasi milisi di Kongo timur. Pada Oktober 2013, majalah National Geographic menerbitkan "The Price of Precious" yang menampilkan foto bidikan Bleasdale yang mendramatisasi penderitaan orang-orang yang terjebak di tengah-tengah kekerasan penambangan liar timah, tungsten karbit, dan emas. Proses ini dijuluki sengketa pertambangan karena perselisihan yang terus berlangsung antara komandan militer AD dan kepala milisi untuk penguasaan tambang.
CEO Intel, Brian Krzanich mengatakan, keputusan perusahaan ini adalah puncak dari upaya bertahun-tahun untuk melacak lebih dari 60 smelter, kelompok usaha peleburan tantalum , tungsten karbit , emas dan timah yang memasok bagi perusahaan. Intel kemudian mengaudit mereka untuk melacak dari mana mineral itu berasal. Hasilnya adalah, bahwa sekarang, semua smelter yang terikat kontrak Intel menggunakan mineral dari tambang tidak terlibat sengketa di DRC.