Harapan untuk Haiti Baru

By , Minggu, 12 Januari 2014 | 19:20 WIB

Haiti terletak di atas rekahan yang gelisah di kerak Bumi, akan selalu rentan terhadap bencana hebat seperti gempa. Peristiwa gempa bumi berkekuatan 7,0 magnitude di Port-au-Prince dan area-area lain di Haiti, Januari empat tahun silam adalah gempa terkuat yang mengguncang negara pulau miskin ini selama lebih dari 200 tahun.

12 Januari 2010, gempa besar yang mengacaukan ibu kota itu menyebabkan sekitar 2 juta warga Haiti kehilangan rumah. Jumlah ini sama dengan kira-kira seperlima dari penduduk negara. Begitu guncangan gempa usai, New York Times mengutip, saksi mata menggambarkan "penghancuran besar" di kota.

Bagi masyarakat Haiti, setelah bencana alam ini berlalu muncul berbagai kesulitan: kemiskinan, kelaparan, ketidakpastian berkepanjangan. Lalu akhirnya berujung pada masalah kriminalitas dan kekacauan. Bantuan makanan dibutuhkan masyarakat selama berbulan-bulan.

Bill Clinton sebagai Utusan Khusus PBB untuk Haiti, dalam wawancara eksklusif pada National Geographic saat itu membeberkan, bencana serta fenomena alam seperti perubahan iklim menjadi prioritas keamanan nasional. “Ya, Pentagon baru-baru ini menegaskan kembali: Perubahan iklim adalah masalah keamanan nasional. Sejak 1990 PBB melaporkan Bencana alam dan perubahan iklim jelas dapat merusak ketenteraman. Perubahan iklim sebetulnya bisa kita atasi. Ilmuwan sepakat bahwa kita harus mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 80 persen sebelum 2050,” kata Clinton.

Haiti mengalami masa-masa kehancuran ekonomi. Penangangan kerugian bencana dan sejumlah besar pengungsi tidaklah berjalan mulus, di samping fakta bahwa banyak komunitas internasional urun. “Anda tak dapat terus menerapkan langkah-langkah sementara untuk menghadapi isu-isu spesifik jangka pendek,” papar George Ngwa, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi dan Urusan Kemanusiaan di sana. “Haiti berpindah dari satu 'darurat' ke 'darurat' lainnya. Setiap kali tampaknya kami membuat suatu kemajuan, kemudian bencana datang membawa kita kembali ke nol—atau minus.”

Dan kini di tengah-tengah berjalannya rekonstruksi Haiti, adalah isu kepemilikan tanah yang dianggap komponen kritis dari proses pemulihan tempat tinggal pascabencana.

Menurut opini sejumlah pengamat yang terekam di media, kurangnya kejelasan akan hak atas tanah menjadi penghalang utama untuk membangun kembali sebuah negara. Hambatan ini menghambat keluarga sumber daya miskin maupun investor swasta kaya.

Tak mudah memang. Bagi calon investor, sebuah laporan dari lembaga pembangunan internasional AS baru-baru ini dilansir menunjukkan hubungan antara izin kepemilikan tanah yang aman dan peningkatan investasi di tanah dan perumahan, ketersediaan kredit, peningkatan nilai tanah dan produktivitas pertanian. Apakah tujuannya untuk menciptakan sebuah tempat penampungan yang layak atau pusat utama perdagangan, orang lebih mungkin untuk membangun bila yakin bahwa tanah di bangunannya itu tidak akan diambil.

Sejak 2011, kelompok kerja—terdiri dari lebih dari 100 stakeholder—membantu untuk mengatasi masalah tanah lama di Haiti ini dengan memperbaiki transparansi sistem hak tanah. Akhir tahun ini, dengan dukungan dari Pemerintah Haiti, manual kedua tentang mengamankan hak-hak tanah akan diterbitkan; menyikapi kepemilikian, prasarana, rent-to-own, dan hal lainnya terkait hak tanah publik dan tanah pribadi.

Bagaimana pun, Haiti telah cukup menderita dan sekarang ini saatnya melihat perubahan, waktunya untuk negara ini bangkit. Kita semua berharap melihat satu tahun lagi upaya pertumbuhan dari Haiti, sehingga ada Haiti baru yang akan dikenang sebagai negara yang tangguh dan menginspirasi.