Menyusul matinya seekor gajah liar pada 1 Januari yang lalu — yang diduga kuat akibat dosis obat bius berlebihan di Pusat Konservasi Gajah (PKG), Minas, Provinsi Riau— WWF Indonesia, WALHI Riau dan Wisnu Wardana, dokter hewan dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia meminta pihak berwenang untuk mengusut tuntas kejadian tersebut. Kedua organisasi juga meminta Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau untuk mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan P.48/2008 dalam menanggulangi Konflik Manusia dan Satwa Liar, sehingga penangkapan gajah liar yang berisiko kematian, dapat dihindari.
BBKSDA Riau menangkap seekor gajah liar betina di Rambah Hilir/Koto Tengah, Kabupaten Rokan Hulu pada akhir Desember 2013. Gajah betina dewasa yang ditangkap di Rokan Hulu tersebut dibawa dalam keadaan terbius ke PKG Minas.
Selama lima hari sejak dibius gajah tersebut dilaporkan tidak pernah terbangun sepenuhnya, hingga akhirnya mati pada 1 Januari 2014.
Dugannya, kematian induk gajah usia 20 tahun itu disebabkan oleh pemberian obat bius yang berlebihan dan proses penangkapan yang dilakukan tanpa peralatan dan keahlian memadai.
drh. Wisnu Wardana dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia menyatakan bahwa kematian gajah tangkapan di PKG Minas itu tidak perlu terjadi jika BBKSDA Riau benar-benar peduli dan menerapkan prosedur standar. Misalnya menyertakan dokter hewan dalam proses penangkapan, dan menyiapkan peralatan yang memadai. Selain itu, proses pengangkutan gajah juga semestinya didampingi gajah terlatih yang siap sedia melakukan antisipasi jika gajah tangkapan melakukan reaksi agresif.
"Penggunaan obat bius atau obat keras lain untuk penangkapan gajah harus oleh dokter hewan, atau paramedis di bawah pengawasan langsung oleh dokter hewan yang berpengalaman. Kami menduga telah terjadi penggunaan obat bius dalam takaran tak semestinya hingga menyebabkan gajah ini kolaps selama proses relokasi," kata Wisnu.
Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau menyatakan, Walhi Riau mengecam BBKSDA Riau sebagai otoritas yang seharusnya melindungi spesies langka, justru malah melakukan penangkapan gajah liar di habitatnya sendiri, tanpa konsultasi dengan pihak lain. Lebih disesalkan lagi karena proses tersebut menyebabkan kematian gajah.
Menurut Riko, jika penangkapan gajah telah menjadi keputusan bersama, maka proses penangkapan harus dipersiapkan dengan matang. "Hal ini menunjukkan ketidakpedulian institusi pemerintah untuk menyelamatkan gajah, habitat dan hutan tersisa di Riau."
Gajah di Sumatera saat ini dalam kondisi yang sangat kritis. Satwa tersebut dapat benar-benar punah di habitatnya dalam beberapa tahun saja jika laju kematian tidak dapat dihentikan. Dalam kurun Maret - Juli 2012, sedikitnya 17 ekor gajah jantan mati mengenaskan, sedangkan total gajah mati dari 2004 hingga kini adalah 120 ekor.
Akibat keterancamannya, gajah sumatera juga sudah memperoleh perubahan status dari “genting” (Endangered) menjadi “kritis” (Critically Endangered).
"Untuk mencegah terulangnya kembali kejadian penangkapan yang berujung kematian seperti di Rokan Hulu, BBKSDA Riau dan semua pihak hendaknya mengikuti pedoman penanganan kasus konflik manusia dan gajah dan satwa liar sebagaimana yang tertuang pada Peraturan Menhut P.48/2008," demikian tutur Suhandri, Program Manager WWF Riau, yang menyatakan pihak WWF siap bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan mencari solusi terbaik terhadap permasalahan gajah di kawasan tersebut.
"Kematian gajah yang baru terjadi awal tahun ini semestinya menjadi bahan evalusi dan pelajaran berharga. Penangkapan gajah-gajah lain di lapangan harus dihentikan sampai ada hasil evaluasi menyeluruh dan penyelidikan tuntas terhadap kematian gajah sebelumnya."