Cerita Pedalang Tiga Generasi

By , Kamis, 16 Januari 2014 | 12:34 WIB

Budaya ratusan tahun kerajinan wayang kulit di desa Kepuhsari, Wonogiri, Jawa Tengah, menelurkan sejumlah generasi pengrajin dan juga pedalang.

Pandam Aji Anggoro Putra, yang baru berusia 10 tahun dengan mengenakan beskap, siap mengangkat kisah favoritnya, Lahirnya Gatotkaca, malam Selasa lalu (14/1). Ayah Pandam, Giriyanto Kuncoro Aji, membantu kelompok menabuh, sementara kakeknya Wagiman Sugiyanto yang berusia 71 tahun ikut menyaksikan.

Sekitar 20 orang hadir, termasuk para tetangganya, beberapa pengunjung dari Jakarta, untuk menyaksikan latihan dalang cilik yang sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan sebagai pedalang cilik.

Dengan semangat Pandam mengangkat kisah kesenangannya, sambil beberapa kali tangan kecilnya melempar dan menangkap wayang kulit yang ia mainkan.

Beberapa teman sebaya Pandam sesekali tergelak menyaksikan lakon Lahirnya Gatotkaca selama latihan sekitar satu jam itu.

Kaitan emosi dengan wayang

Dalang cilik ini sudah beberapa tahun mahir mendalang, mengikuti langkah bapak dan kakeknya. Ayah Pandam, Giriyanto, sempat tidak tertarik untuk meneruskan tradisi ini dan mengambil kuliah managemen.

"Sampai suatu waktu saya ikut kursus singkat dalang dan dianggap berpotensi, jadi saya semacam dipaksa untuk menjadi pendalang," cerita Giri.

"Akhirnya saya teruskan untuk belajar selama tiga tahun," tambah Giri yang juga ketua asosiasi perajin wayang kulit di desa Kepuhsari.

Giri juga bekerja sebagai staf tata usaha di SMP Negeri Manyaran yang memiliki pelajaran Tatah Sungging, menatah dan mewarnai wayang.

Sementara ayah Giri, Wagiman mulai mendalang pada akhir tahun 1950an dan pensiun tahun 1990-an. "Yang terpenting untuk menjadi pendalang adalah harus sering melihat dan juga sering buat wayang," kata Giri lagi.

Sementara bagi Pandam, yang baru berusia 10 tahun, menjadi dalang tak perlu dipaksa seperti ayahnya. "Emosinya begitu kuat (dengan wayang) dan selalu ingin mendalang," kata Giri.