Sisa matahari senja masih meninggalkan jejaknya di Kedaung Wetan. Jo Oen San (76) dan Tjia Wi Lie (67) tampak mesra bergandengan tangan ditemani Beki, si anjing kumal kesayangan. Hampir setengah abad silam, mereka melakukan ciotau, pernikahan tradisi Konghucu yang telah diadopsi sebagai bagian budaya Cina Benteng. Leluhur mereka telah bermukim dan menikah dengan perempuan Tangerang selama berabad-abad.
“Dulu kawin jarang yang punya surat kawin,” ungkap Wi Lie. “Saya tidak punya surat kawin.” Suaminya pun mengangguk sambil menjelaskan bahwa pernikahan adat ini sudah bukan syarat utama untuk menikah, “Kalau sekarang lebih diutamain ‘kawin negara’ daripada ‘kawin agama’.”Makna ciotao adalah ‘menjalin rambut ke atas’. Upacara ini merupakan ritual inisiasi perubahan dari sosok lajang yang menjelma menjadi pasangan yang telah menikah. Biasanya, upacara ini digelar di rumah kawin—sebutan rumah yang disewakan untuk perhelatan pernikahan dalam tradisi Cina Benteng.Pasangan pengantin menggelar upacara tersebut secara bersama-sama di satu tempat atau melakukannya secara terpisah. Oen San menuturkan, dirinya melakukan ciotau di Rumah Kawin Ong Kim Tjeng, sementara istrinya di Rumah Kawin Lim Tian Tiang.
Setelah upacara selesai Oen San, bersama rombongan, menjemput istrinya untuk melakukan sembahyang di Boen Tek Bio, klenteng tertua di Pasar Lama Tangerang. “Ada jodoh kawin hari ini, minta umur, semoga langgeng selalu,” kenang Oen San. Setelah itu, barulah mereka ke meja abu rumah masing-masing untuk penghormatan kepada leluhur.Sekarang tradisi itu digelar lebih singkat sebagai upaya mengikuti perkembangan masyarakat yang kian bergaya hidup praktis. Namun demikian, filosofi setiap bagiannya dipertahankan supaya tidak turut lenyap.
Persiapan pernikahan dalam tradisi ini dilakukan selama tiga hari. Hari pertama dikenal sebagai hari bumbu, kemudian potong ayam dan rias bakal pada hari kedua. Puncaknya pada hari ketiga, ciotau. Dalam dua malam terakhir biasanya dihadirkan gambang kromong dan cokek—biduan yang melantunkan nyanyian stambul lawas.
Tatkala upacara ciotau berlangsung, mempelai duduk menghadap segantang beras yang ditancapkan cermin, sisir, gunting, benang, penggaris, timbangan antik, primbon lawas beraksara Cina, dan dua lilin merah yang menyala. Semuanya punya makna filosofi, laksana pesan dan harapan leluhur kepada penerusnya. Kedua mempelai berbusana bak kaisar dan permaisuri Dinasti Qing atau Manchu, sebuah wangsa yang berkuasa pada 1644–1911 di Negeri Cina. Mungkin sebagian kita masih ingat film layar lebar The Last Emperor, kaisar terakhir dinasti ini bernama Pu Yi. Mempelai perempuan mengenakan busana panjang warna merah, bermahkota bunga konde, dengan wajah tersamar untaian tirai manik-manik. Sedangkan mempelai lelaki berbusana jubah hitam, bermahkota caping merah, dan membawa kipas.
Ada juga rangkaian yang menarik, masing-masing mempelai melakukan ritual santap 12 mangkuk. Maknanya, bahwa dalam rumah tangga kelak mereka akan menghadapi segala rasa kehidupan.
Kini, pelaksanaan upacara dan pesta pernikahan lebih sering dilakukan dalam satu tempat, di rumah kawin atau di rumah salah satu mempelai. Setelah upacara ciotau yang hanya memakan waktu dua jam, kedua mempelai pun buru-buru bersalin dengan busana pengantin Barat dan siap untuk menerima tetamu.
Sebagai sesepuh, hampir setiap bulan Oen San menghadiri pernikahan pasangan Cina Benteng. Menurutnya, masih banyak orang yang menyelenggarakan pernikahan dengan tradisi ini, meskipun banyak juga yang sudah menggantinya dengan gaya pengantin barat. “Bulan empat kalender imlek—bulan yang dihindari untuk menikah—itu pun mereka bikin resepsinya,” ujarnya.
Akhir tahun silam, Oen San diundang perhelatan pernikahan di beberapa rumah kawin. “Desember ada 20 pernikahan, sekitar tujuh atau delapan menggunakan adat ciotau,” ujarnya.