Memahami Budaya Rawan HIV/AIDS

By , Selasa, 21 Januari 2014 | 16:42 WIB

Perawat dan orang yang menangani HIV/AIDS kadang menghadapi keadaan seperti komandan tentara yang mesti memberitahu keluarga anak buahnya, bahwa orang tercinta mereka tewas di medan perang. Bagaimana cara terbaik untuk memberitahu bahwa seseorang positif HIV/AIDS?

“Untungnya, Robert kekasih saya mulai terketuk. Mau menemani saya tiap Sabtu-Minggu melakukan kunjungan rutin pada B, si ibu muda, orangtua tunggal dari dua putri setelah suaminya wafat karena HIV/AIDS. B dan putri bungsunya pun positif HIV/AIDS. Untunglah masih ada yang mau memperkerjakannya sebagai penjaga toko untuk menafkahi keluarga.“

Sitti memasuki babak baru. “Saya juga belajar sedikit demi sedikit untuk memperlakukan para ODHA dengan baik. Awalnya, saya masih bertindak seperti detektif dan jaksa penuntut, ’mengejar’ dan ’menghakimi ’ mereka tentang siapa pencetus dan siapa korban HIV/AIDS. Ternyata tak bisa begitu, karena tiada yang mutlak, jadi tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Masing-masing punya risiko.“

Lagipula, berhakkah kita masuk terlalu dalam ke kehidupan pribadi seseorang? Misalnya, “Saya pernah menemukan istri pendeta, dan istri ulama yang bercadar, positif HIV/AIDS! Perilaku intim adalah hak tiap orang yang tak bisa diintip orang lain, apapun latar belakangnya.“

Karena itulah, ketika menghadapi suatu keluarga, entah suami atau istrinya yang HIV positif,  Sitti memaparkan hal-hal tersebut. “Jadi, sekali lagi, tak perlu saling menyalahkan, malah harus saling mendukung. Tak perlu bercerai, ikatan suami-istri dan anak-anak justru harus diperkuat.“

Sitti Soltief,  Kepala Ruang Perawatan Paru di RSUD Dok II Jayapura sebagai ini kemudian tak sekadar belajar merawat, memperhatikan gejala dan efek samping HIV/AIDS tapi juga kehidupan sosial. Bicara pada pasien, berarti bicara pencegahan agar tak menularkan ke pasangan dan keluarga.

“Saya jadi tak mudah menuduh buruk pada PSK (Pekerja Seks Komersial), dan lainnya. Saya belajar tentang hiduip, kehidupan kaum homo, lesbi dan heteroseksual. Sikap memberi cap, menyalahkan dan menghakimi –stigma – pun menghilang. Saya belajar dari kasus-kasus dan ahlinya.“

Risiko tinggi di Papua

Ini pertanyaan lama: mengapa pengidap HIV/AIDS tertinggi di Papua? Sitti Soltief mengemukakan pengamatannya. Pertama, ada adat poligami. Di Wamena, misalnya, kepala suku yang punya babi banyak, ya punya banyak istri. Warga Papua senang berpergian. Walau berpakaian sangat sederhana, adalah pemandangan biasa “orang gunung” naik turun pesawat. Warga Papua pun senang pesta, yang kerap diakhiri dengan minum-minum sampai mabuk.

Cara berhubungan seks pun berisiko tinggi. “Mereka biasa bergaya ’polisi’ (polo langsung isi), tak pakai foreplay. Risiko lecet besar yang memungkinkan virus masuk kian besar. Sementara komunikasi, informasi, pendidikan buruk hingga yang sudah sadar pun takut menjalani tes apalagi berobat. Bayangkan, ada yang baru berusia 7 tahun sudah berhubungan seks! Pelajar SMP kelas 2 pun sudah berhubungan seks.“

Pada Agustus 2005, Sitti bertemu pelajar putri, sebut saja C, “Anak pertama dari tiga bersaudara di Puncak Jaya. Saat itu ia duduk di kelas 1 SMP. Kondisinya sudah tulang berbalut kulit. Ia mengaku hanya sekali berhubungan seks, tapi kemudian terjangkit diare tiada henti, mulut berjamur, demam, matanya kemudian nyaris buta.“

Keluarganya kemudian meminta tolong pada Sitti. C dibawa ke Jayapura, dan menjalani serangkaian pemeriksaan. C terbukti HIVpositif, dan mendapat sejumlah pengobatan untuk memperbaiki kondisi.

Ibunda C kemudian menelepon Sitti, “Kakak Nona, bisakah kami datang ke Jayapura?’ Mereka pun tinggal dengan Sitti beberapa lama. C terus berobat, dan kembali ’sehat.’ Ia tinggal bersama orangtuanya yang kemudian memilih tempat tinggal sendiri sementara di  Jayapura. Orangtuanya begitu penuh perhatian. Saat C masih tinggal bersama kami, setiap Sabtu-Minggu dijenguk, bahkan ketika orangtuanya harus kembali ke Timika, selalu disempatkan akhir pekan menengok putri mereka.“

Saat C dan orangtuanya tinggal di Jayapura, Sitti menyempatkan menengok.  “Ketika kami datangi kedua kalinya, ternyata ia telah dibawa ke Timika. Tapi pada Oktober 2007, C dibawa kembali ke Jayapura. Ia diduga terkena efek samping jangka panjang ARV (Anti Retroviral Virus). C sempat tiga kali koma, masuk ICU. Orangtuanya sedang tak ada ketika akhirnya ia berpulang. Untung keluarga besarnya bisa memahami apa yang terjadi. Kami pun men-charter pesawat untuk memakamkannya di Puncak Jaya.“