Bank Jaringan Tubuh di Indonesia Masih Minim

By , Rabu, 22 Januari 2014 | 18:10 WIB

Kalau pun ada “harga”, “Itu hanya biaya penggantian proses,” tegas Nazly Hilmy. Dan amat murah karena subsidi pemerintah. Misalnya, biaya pemeriksaan awal calon donor jaringan saja. Itu pun, “Kalau pasiennya tak mampu, ya gratis.” Bandingkan dengan jaringan impor yang berkisar 200-6000 USD per satuan jaringan.

Mahalnya jaringan impor itu pulalah yang mendorong didirikannya bank jaringan di sini.  Selain BRTB, saat ini telah berdiri Bank Jaringan Rumah Sakit Lepra Sitanala Tangerang (sejak 1992) dan RS Dr M Djamil Padang (1997) untuk amnion,  dan Bank Tulang RS Dr Sutomo Surabaya (1999).

BRTB dan tiga bank jaringan ini, selain memproduksi untuk keperluan di rumah sakit sendiri, juga melayani permintaan dari Jakarta Eye Center, RS Mata Aini, MMC, RS Tulang Siaga Raya, RS Fatmawati, RSPAD Gatot Subroto dan RSCM di Jakarta, RSU Malang, RSU Makassar, RS Mata Cicendo dan RSU Hasan Sadikin Bandung, RS Mata Yap Yogyakarta dan RSU Palembang.

Produksi empat bank jaringan ini belum bisa memenuhi semua permintaan. RS Dr Soetomo Surabaya, misalnya, menghasilkan 1.500-2.000 kantong amnion/tahun, padahal permintaan sekitar dua kali lipatnya, dan telah membantu korban Tragedi Bom Bali.

Menyiasati biaya, Indonesia telah melakukan terobosan karena penggunaan amnion kering untuk bedah mata hanya dilakukan di sini. Di luar, pakai amnion beku. Tapi hasilnya, “Sama baiknya.”

Keterbatasan produksi tentu saja karena kurangnya bahan baku jaringan manusia (allograft). Sejak 1994, mengikuti jejak Eropa dan Amerika Utara, BRTB menyiasati dengan mengembangkan jaringan dari spesies lain (xenograft), seperti tulang rawan (cancellous) dari sapi potong berusia di bawah dua tahun dengan penyaringan ketat. Halangannya, a.l. kemungkinan penolakan oleh tubuh pasien dan pemindahan penyakit dari hewan ke manusia, yang diatasi dengan pemeriksaan dan proses amat ketat.

Hasilnya, sejak 1996, sekitar 400 pasien pemakai allograft dan xenograft ini tak menunjukkan penolakan, dan pertumbuhan tulangnya berjalan baik, walau tak sebaik memakai tulang sendiri (autograft).

Idealnya? Ya lebih banyak donor jaringan manusia dong.

Mau Menerima Tapi Enggan Memberi

Selain faktor medis, pengadaan, pengolahan dan pencangkokan bank jaringan juga harus memperhatikan faktor adat-istiadat dan agama, karena kerap menjadi soal peka.  Untuk Indonesia yang 85% penduduknya beragama Islam, misalnya, didasarkan pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).  Keputusan Dewan Hisbah MUI 1990, memperbolehkan (mubah) pengambilan dan pemakaian kembali organ ginjal dan jaringan yang diambil dari jenazah. Juga jaringan dari species lain macam hewan (xenograft) dapat digolongkan sebagai alat kesehatan, juga mubah.

Pemakaian dan pengolahan jaringan biologi untuk pencangkokan juga telah diizinkan menurut UU No.10/1992 tentang Kesehatan, pasal 33-37. Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi (pasal 33). Ini melengkapi PP RI No.18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia.

Walau peraturan, baik dari segi agama maupun hukum, telah memperbolehkan, “Penerapannya dalam masyarakat masih harus terus-menerus dipromosikan.” Proses pengambilan jaringan dan pemulihannya sekitar 3-4 jam. Harus memperhitungkan juga, bahwa dalam Islam, jenazah tak boleh dibiarkan lebih dari 24 jam. Dan dalam budaya tertentu seperti Betawi, jenazah bahkan harus dikubur pada hari yang sama saat meninggal, kendati meninggal pada sore hari.

Atau, “Ada dokter yang mengamanatkan, bila ia meninggal, jaringannya akan didonorkan. Tapi kemudian, keluarganya tak tega. Ya sudah, batal deh.” Selain itu ada kecenderungan, “Pada umat Islam, mau menerima jaringan baik dari donor Muslim atau non-Muslim, tapi masih enggan jadi donor.” Menurut Nazly yang Muslim ini, agaknya hal itu terpaku pada ayat yang mengatakan, harus kembali pada Tuhannya dalam keadaan utuh, tak diubah sebagaimana ia dilahirkan.

Bagi Sekjen Asia Pacific of Surgical Tissue Banks ini, prinsip dasar untuk donor jenazah adalah, yang menghadap Tuhan itu arwah kita. Kalau jasad kita masih berguna untuk manusia hidup, mengapa tidak? “Saya percaya, sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi manusia lain.”