Suku Laut, Pengembara di Kepulauan Riau

By , Rabu, 29 Januari 2014 | 19:57 WIB

Suku Laut kadang mereka disebut Orang Sampan karena awalnya memang berumah sampan. Belakangan baru menetap di pesisir berumah panggung menjorok ke laut. Dan selalu menyenangkan berkenalan dengan suku-suku asli macam mereka.

Dari Kijang, kami sengaja mampir ke Desa Air Kelubi, Kecamatan Bintan Pesisir, masih bagian Pulau Bintan. Di sini bermukim 40 KK Suku Laut.  Pak Ata dari Dae, Pulau Lingga, bercerita, 1983 ia pindah ke sini sampai beranak tujuh, bercucu banyak. Mencukupi kebutuhan harian dengan memancing, merawai pari, hiu, kerapu sunu dengan pompong, perahu, sampan apolo. Suku Laut mulai mulai berkumpul sejak 1980-an dan Depsos  membina mulai 1992.

“Didorong tinggal menetap dan di-Islam-kan,“ tutur Rahman, ketua RT 1 dari enam RT di sini, ringan, yang mengucapkan rumah dengan “r“ luluh hingga berbunyi umah tentang pembagian rumah 30x15 meter persegi, seperempat hektare ladang, alat tangkap, perahu, seperti transmigrasi saja. Sudah mulai bertani singkong, sayur.

Di sini semua berbaur – Jawa Buton, Bugis, Cina Melayu, Riau, Padang. Jadi, saya bertemu dengan Jaelani, dulu pegawai Depsos dari Riau Daratan yang selama 1993-98 membina di sini dan kecantol gadis Air Kelubi. Juga Yusuf,  keturunan Cina yang sejak 1992 pindah dari Kijang dan berjodoh dengan gadis Melayu asal Batam. Sementara Yanti (24) anak pertama  Suku Laut, sejak 1992 mengikuti orangtua hijrah dair Pulau Potoe.

Di Mapur ada tiga keluarga Suku Laut – Pak Awang, Ahad, dan Rusli. Mereka nelayan pancing yang tergantung gerak air. Kalau air surut, balik ke darat.

“Saya dari Tanjung Berakit, utara Bintan,“ kata Ijah yang tengah hamil anak ke-5, “Anak kedua saya simpan (meninggal).” Suaminya, Rusli sedang mancing dengan tinting, sampan bermesin tarik (motor tempel). Dengan tiga anak, rumah kecil 3x3 meter itu disekat papan untuk area tidur dan masak. Hujan deras memaksa kami berdesakan di dapur bertungku.

“Ini bantuan pemerintah. Ada 10 rumah yang habis terterjang angin ribut 7 Juli 2008,“ kata Ijah seperti membaca pandangan saya. Walau kecil, ada aliran listrik beriuran Rp30.000 per bulan.

Saya tak enak hati ketika Amoy (60), tetangga depan rumanya yang ikut bertamu, tiba-tiba bertanya, “Kenapa, mau kasih bantuan?”

Hubungan antartetangga ini kental sekali. Putra bungsu Ijah, Apian, dinamai oleh Mandini, putri Amoy, yang berjualan es sirup dan penganan kecil yang tadi sempat saya singgahi.

“Dulu orangtua punya kedai, tapi sejak krismon 1998 sering dirampok, akhirnya bangkrut. Saya menikah dengan orang Buton,“ kenang Amoy.