Kisah Sang Dewa Penjaga Benteng Heritage

By , Senin, 27 Januari 2014 | 14:02 WIB

“Saya mimpi mendapatkan gedung ini,” ujar Udaya Halim saat menyambut para sinolog muda dari Universitas Indonesia. Dia berkisah tentang rumah berlantai dua dan berlanggam arsitektur Cina yang kini menjelma menjadi bangunan anggun di Pasar Lama, Tangerang.

Tampaknya, Udaya memiliki ikatan emosional yang kuat dengan rumah ini. Di kampung pecinan itu dia dilahirkan. Seruas gang becek yang membentang di depan rumah tua itu pernah menjadi ajang bermainnya kala kecil.

Setelah Udaya membelinya, dia melakukan pemulihan dan pemeliharaan bangunan. Sejak dua tahun lalu rumah lawas itu diresmikan sebagai Museum Benteng Heritage, sebuah mutiara dari Tangerang—demikian Udaya menjulukinya. “Saya bukan arsitek, saya bukan historian,” ungkapnya. “Tetapi saya mencintai apa yang saya lakukan.”

Para sinolog muda tengah berkunjung ke Museum Benteng Heritage, di Pasar Lama, Tangerang. Sementara banyak bangunan bersejarah di kawasan ini menghilang, bangunan museum milik Udaya Halim ini menjadi penanda peradaban Cina Benteng yang berhasil melawan gerusan zaman. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Museum itu  buka seusai jam berjualan pasar. Dari ruang tengah, kami meniti tangga kayu untuk menunju lantai dua bangunan museum. Di beranda, Udaya menunjuk sebuah patung  kayu yang berselubung jubah megah. Patung dengan tinggi sekitar 30 sentimeter itu ditempatkan dalam sebuah rumah toapekong bersanding dengan setanggi ladan.  Lalu, dia berkata, “Saya akan bercerita tentang patung itu.”“Dia adalah seorang dewa,” kata Udaya. Dengan jujur, dia menyingkap bahwa sosok tentang siapa sejatinya patung itu baru diketahuinya selang waktu usai melakukan pencarian nan panjang—hingga ke asal leluhur warga Cina Benteng. “Saya senang dengan tantangan. Saya gemar belajar,” ujarnya. “Saya berikrar akan mencari jejak siapa dewa ini.” Ibarat sudah takdirnya, dewa ini merupakan tinggalan beberapa generasi dari pemilik rumah sebelumnya. Kondisinya sangat buruk  saat ditemukan—teronggok di sudut, berdebu, usang, dan tubuhnya terikat. “Buy one get one for free: Dapat rumahnya, dapat dewanya,” ujar Udaya yang gemar bercanda.  “Kwee Seng Seng Kun adalah Dewa Pendidikan,” demikian Udaya menyebut nama dari sosok sang dewa itu. “Pada dasarnya dewa-dewa dalam mitologi Cina itu orang biasa, namun mereka dikenang karena keteladanannya.”

Udaya Halim, sang pemilik Museum Benteng Heritage, menyingkap asal usul Dewa Kwee Seng Seng Kun di sisi kirinya. Dewa itu telah bersemayam beberapa generasi di rumah yang kini menjadi museum.“Buy one get one for free: Dapat rumahnya, dapat dewanya,” ujar Udaya yang gemar bercanda. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sang Dewa itu tampaknya seorang yang buruk rupa: hidung pesek, mulut lebar, jidat lebar, dan bermata belodok.  Digambarkan sebagai sosok laki-laki yang tengah melangkah; salah satu kakinya menginjak dedemit air. Tangan kanannya terangkat sembari menggenggam kuas tulis, sementara tangan kirinya memegang semacam mangkuk. Sekilas adegan Kwee Seng mirip Dewa Hermes dalam mitologi Yunani. Menurut cerita, lanjut Udaya, sosok Kwee Seng berasal dari Dinasti Tang.  Wajahnya buruk, namun dia merupakan seseorang terpelajar dan pandai, juga penulis.  Hanya lantaran penampilannya yang buruk itu kekaisaran tidak membolehkan Kwee Seng lulus. Kejadian ini membuatnya kecewa dan sedih. Lalu, dia mencoba bunuh diri, namun sesungguhnya dia tidak mati. Dia diangkat ke surga. “Dia menjadi bintang, setidaknya Kwee Seng bisa menerangi,” ujar Udaya. “ Ini moral ceritanya”.

Udaya menanyakan kepada Sang Dewa Pendidikan itu lewat sebuah ritual komunikasi gaib—dengan dua bilah kayu—di klenteng, “Apakah mau tetap tinggal di rumah? Ikut pindah bersama pemilik sebelumnya? Atau, pindah ke klenteng?”  Kwee Seng pun ‘menjawab’ bahwa dia tetap tinggal di rumah yang kelak menjadi museum. Udaya pun merestorasi rumah itu lewat persetujuannya.

Udaya Halim, pendiri Museum Benteng Heritage yang menampilkan keindahan budaya Indonesia-Cina. Museum ini terletak di Pasar Lama, Tangerang. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

“Buat saya ini suatu kebetulan,” ujarnya. “Gedung ini sejalan dengan misi saya sebagai guru dan sebagai pendidik bahwa gedung ini bisa menjadi sarana pendidikan.” Tujuannya bukan untuk mengklenikkan, demikian menurut Udaya, tetapi untuk menginspirasi kepada setiap orang. “Filosofinya begini, kalau seseorang bersikap baik, berlaku baik, dan melakukan kebaikan,” kata Udaya, “dia akan mempunyai devine character—karakter ilahi.”Dari temuan Dewa Pendidikan di rumah itu, muncul dugaan asal usul peran bangunan itu pada masa sebelumnya. Udaya menduga, rumah yang kini menjadi Museum Benteng Heritage tampaknya tinggalan dari sebuah perkumpulan cendekiawan di pecinan itu sekitar abad ke-18 atau akhir abad sebelumnya. Alasan itu rupanya dikukuhkan juga dengan interior rumah yang menunjukkan bahwa bangunan bersejarah itu awalnya bukan sebagai rumah tinggal.

“Sekarang kalian sudah tahu dewa ini siapa,” ujarnya kepada para sinolog muda sambil beranjak dari beranda menuju ruangan dalam. Sambil mengembangkan bibirnya, dia berkata, “Kalau mau lulus silakan sembahyang di depannya.”