2014, Pemerintah Diharapkan Baharui Kebijakan yang Pro-Pelestarian Hutan

By , Senin, 27 Januari 2014 | 15:01 WIB

Banjir yang melanda Jakarta, Bekasi, Pekalongan, Semarang, Manado, dan lain-lain pada awal 2014 ini menyadarkan bahwa alam Indonesia sudah “salah urus”.

Bencana ekologis ini harus menjadi alarm pembaharuan ke depan, karena menurut catatan WALHI sedang terjadi peningkatan secara tajam. Jika pada tahun 2012, banjir dan longsor terjadi sebanyak 475 kali dengan korban jiwa mencapai 125 orang, pada tahun 2013, secara akumulatif peristiwa bencana ekologis mencapai 1.392 kali atau meningkat hampir 300 persen.

Sayang, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II —yang masa kerjanya tersisa kurang dari setahun— membuka tahun 2014 dengan menerbitkan peraturan yang tidak berpihak pada keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. PP 1/2014 dan Permen ESDM 1/2014 yang mengendorkan batas waktu larangan ekspor mineral mentah tak hanya membebaskan dari hukuman (impunity) tapi juga dinilai melanggengkan perusahaan ekstraktif mengeruk kekayaan mineral Indonesia.

Demikian dinyatakan dalam siaran pers Komunike Bersama ICW-WALHI-KEHATI-TI INDONESIA-WWF INDONESIA yang diterima National Geographic, Senin (27/1).

Tahun 2014 juga dibuka dengan kegembiraan semu melalui pelepasan 7.000 ha kawasan hutan Mesuji dari Register 45, Lampung. Menjadi semu karena dilakukan tanpa skema distribusi lahan yang jelas dan berkeadilan sehingga potensial memicu konflik horisontal. Padahal, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan fenomena meningkatnya konflik agraria beberapa tahun terakhir.

Ketimpangan perlakuan negara kepada penduduk lokal dengan korporasi eksploitatif merupakan hal jamak hingga saat ini. Ini terlihat dari kebijakan pengalokasian ruang bagi kawasan hutan.

Contohnya Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 yang ditetapkan oleh Permenhut 49/2011 menjabarkan bahwa dari total 41,69 juta hektare penggunaan kawasan hutan, 41,01 juta hektare (99,5%) diperuntukkan bagi perusahaan, seperti HPH, HTI, pelepasan kebun, pinjam pakai tambang. Hanya 0,21 juta hektare atau 0,5% sisanya yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal/adat atau usaha kecil, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat.

Pada 2013 Indonesia dan Uni Eropa menandatangani perjanjian Forest Law Enforcement, Governance, and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) antara Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa. Sesuai dengan EU Timber Regulation (EUTR) 995/2010, FLEGT VPA ini akan membuka lebih luas pasar Eropa bagi kayu legal Indonesia. FLEGT VPA ini berpeluang meningkatkan sumbangsih kehutanan terhadap perekonomian nasional yang semakin melemah pada satu dekade terakhir.

Meski demikian, harus dipastikan agar pembukaan pasar Eropa ini tidak justru membuka ruang perusakan hutan melalui eksploitasi kayu yang tak lestari. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sebagai salah satu instrumen terkait FLEGT VPA, harus direvisi agar menjadi instrumen yang sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable forest management (SFM). Pun, SVLK dan pasar Eropa harus didorong untuk mendukung hasil hutan produksi unit usaha masyarakat lokal.

Eksistensi hutan adat

Harapan sejatinya hadir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi 45/2011 yang membuka ruang negosiasi antara masyarakat dengan pemerintah dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Dengan diputusnya bahwa kawasan hutan yang sah dan mengikat adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan, tak cukup hanya ditunjuk sebagaimana terjadi pada sebagian besar kawasan hutan Indonesia.

Putusan MK 35/2012 yang menegaskan eksistensi hutan adat juga memastikan bahwa komunitas adat pun menjadi entitas penting dalam tatakelola kehutanan Indonesia.

Namun demikian, tindak lanjut pemerintah terhadap kedua Putusan MK tersebut sangat minim. Pengukuhan kawasan hutan di Kabupaten Barito Selatan yang diproses sepanjang 2013 bahkan tidak menambah luasnya. Begitu juga, hutan adat yang ditetapkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi belum ada sama sekali. Padahal, pemerintah sangat diharapkan mengeluarkan kebijakan transisi sebagai terobosan mengingat banyaknya tumpang tindih klaim dan izin di dalam kepemilikan hutan adat.