Mungkinkah Sertifikasi Udang Mampu Dorong Pelestarian Lingkungan?

By , Selasa, 28 Januari 2014 | 15:21 WIB
()

Industri budidaya udang di pertambakan dihadapkan pada berbagai permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi, di antaranya kualitas air, penyakit, konflik sosial antara perusahan dengan pekerja yang akhirnya menyebabkan terhentinya produksi, sampai isu pemenuhan tuntutan pasar akan jaminan mutu, keamanan pangan, dan keterlacakan.

Menurut Ita Sualia, Management Officer Wetlands International Indonesia Programme (WIIP)—yang merupakan jaringan dari LSM nirlaba global yang bergerak di bidang konservasi berkelanjutan ekosistem lahan basah Wetlands International, berbagai permasalahan tersebut, ditambah dengan kepedulian konsumen yang semakin meningkat, menyebabkan negara pengimpor udang terutama Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang menambahkan kriteria pelestarian lingkungan dan aspek sosial sebagai syarat produk udang untuk dibeli.

Semua kriteria tersebut dituangkan dalam bentuk sertifikasi. “Sertifikasi hadir sebagai salah satu bentuk hasil edukasi pasar oleh pegiat lingkungan dan perlindungan sosial atas kekhawatiran akan isu sosial dan lingkungan melalui mekanisme labeling,” katanya.

Kriteria yang disyaratkan pembeli udang internasional tersebut harus diperhatikan, mengingat tingginya nilai ekonomis ekspor udang. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada semester 1 tahun 2013 lalu, udang menyumbang nilai ekspor US$723,6 juta atau sebesar 36,7 persen dari total nilai ekspor dari sektor perikanan dan kelautan. 

Korban early mortality syndrome (EMS). (seafood.vasep.com.vn/kompas.com)

Tentunya Indonesia tak mau kehilangan peluang tersebut karena direbut oleh negara produsen udang lainnya seperti Cina, Thailand, Vietnam—walaupun saat ini Thailand dan Vietnam saat ini sedang dilanda masalah wabah Early Mortality Syndrome (EMS). 

FAO juga telah memberikan imbauan agar sertifikasi perikanan budidaya minimal mensyaratkan tentang kesehatan dan kesejahteraan hewan, keamanan pangan, kelestarian lingkungan dan aspek sosial. Saat ini banyak bentuk sertifikasi udang, baik yang dibuat langsung oleh pembeli misalnya sertifikat dari British Retailers Consortium (BRC) dan Carrefour Quality Line (CQL).

Juga sertifikasi udang yang dibakukan oleh produsen, misalnya Indonesia dengan standar CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik) yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Serta sertifikat udang internasional yang umumnya dimiliki petambak Indonesia: Global GAP (dulu bernama Euro GAP) yang umumnya disyaratkan oleh negara-negara Uni Eropa, dan Aquaculture Certification Council (ACC) oleh negara-negara Amerika. Tak jarang setiap petambak memiliki lebih dari satu sertifikat udang karena setiap pembeli pada umumnya mensyaratkan sertifikat yang berbeda pula.

Namun demikian, terdapat pandangan-pandangan berbeda akan keberadaan sertifikasi udang, menyangkut isu ekslusivitas terhadap petambak kecil, dampak terhadap ekosistem, hingga kehidupan masyarakat di sekitar area pertambakan. 

Nyoman Suryadiputra, Direktur WIIP, menyatakan bahwa penerapan sertifikasi internasional terhadap proses produksi udang agaknya hanya relevan bagi petambak skala besar. Padahal sebagian besar petambak Indonesia adalah petambak tradisional yang memiliki modal terbatas dan dengan skala usaha relatif sangat kecil. “Sehingga perlu suatu langkah inovatif dari berbagai pihak untuk menjembatani kesenjangan pencapaian standar tersebut,” ungkapnya.

Ditekankan pula agar sertifikasi—khususnya yang menambahkan aspek lingkungan—tidak dilihat dari keuntungan jangka pendek semata. “Tapi mari kita lihat keuntungan penerapan sertifikasi dalam jangka panjang baik untuk lingkungan, keberlanjutan usaha, dan resiliensi terhadap dampak perubahan iklim.  Beberapa sertifikasi yang telah menambahkan aspek pelestarian lingkungan dengan mensyaratkan aktivitas pertambakan tidak dilakukan pada area konservasi, merehabilitasi 50 persen luasan lahan basah alam, misal mangrove, yang telah terlanjur dikonversi untuk ditanami kembali.”

Termasuk pelestarian sabuk hijau yang diatur pula dalam peraturan perundangan Indonesia. Manfaat keberadaan sabuk hijau di area pertambakan, baik sebagai sempadan pantai maupun sempadan sungai dapat berkontribusi dalam penyerapan karbon dan memberikan fungsi perlindungan dari dampak kenaikan muka laut.