Perayaan menyambut Imlek di Kota Solo, Jawa Tengah, kali ini terasa lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Panitia membuat serangkaian acara yang digelar selama sepekan, yakni 23-29 Januari 2014. Belum lagi kawasan Pasar Gede dihias lebih cantik dengan lampion-lampion yang memperkental suasana Imlek.
Acara yang dirayakan warga keturunan Tionghoa ini tidak menyurutkan antusiasme masyarakat umum untuk ikut merasakan sukacita menyambut Imlek atau Tahun Baru Cina ini.
Acara Solo Imlek Festival yang digelar di kawasan barat dan utara Benteng Vastenburg dihadiri beragam kalangan. Mereka menikmati aneka stan yang menyajikan beragam produk kuliner, sandang, hingga otomotif. Beberapa stan menyajikan kegiatan komunitas, seperti kaligrafi Tiongkok dan meramal.
Setiap malam digelar panggung budaya yang menampilkan kesenian akulturasi Tionghoa dan Jawa, seperti karayang yang menampilkan perpaduan karawitan dan yang kim serta fashion show batik dengan model busana cheong sam. Ada pula wayang potehi, wushu, tari modern, yang kim atau seni musik Tionghoa, dan lainnya.
"Imlek kali ini kami lebih memilih mengedepankan seni budaya hasil akulturasi Cina-Jawa yang memang ada di tengah-tengah kita dan eksis hingga kini," kata seorang panitia, Sumartono Hadinoto, beberapa waktu lalu.
Wayang potehi digelar setiap malam pada ujung rangkaian acara yang digelar di panggung budaya. Dalangnya, Widodo, adalah orang Jawa asli.
Cerita disajikan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kisah Sin Yin Kwee, jenderal besar pada masa China kuno, yang ditampilkan pada Jumat (24/1) malam yang lalu.
Dikisahkan, jenderal perang ini mati di tangan anaknya sendiri yang jago memanah. Sang anak memanah sosok macan putih yang dikhawatirkan akan menyerang sang ayah. Padahal, sosok macan putih itu sebenarnya adalah roh sang jenderal yang sedang tidur.
"Saya sudah lama sekali tidak menonton wayang potehi. Terakhir menonton lima tahun lalu, itu pun di Rembang. Kesenian ini sudah langka. Anak muda sekarang hampir tidak kenal," kata seorang penonton, Lam Tjong Gun (59).
Ia senang perayaan Imlek semakin semarak sebagai tanda etnis Tionghoa makin bisa diterima di tengah masyarakat. Menurut dia, warga etnis Tionghoa pun ingin ikut mengisi kemerdekaan.
Selain itu, digelar pula Garebeg Sudiro, yakni kirab gunungan kue keranjang. Tahun ini gunungan berbentuk Kelenteng Tien Kok Sie serta Menara Sangga Buwana.
Kirab mengambil rute mengelilingi Kelurahan Sudiroprajan yang menjadi semacam kantong permukiman etnis Tionghoa. Mereka tinggal berbaur di wilayah itu dengan etnis lainnya sehingga muncul sosok-sosok "ampyang", yakni percampuran Tionghoa dan Jawa dengan ciri-ciri berkulit coklat dan bermata sipit. Ampyang sendiri merupakan makanan gula kacang.
Panitia Bersama Imlek juga memasang lampion berbentuk shio-shio yang dipasang di tengah Jalan Sudirman, yang merupakan koridor kedua terpenting setelah Jalan Slamet Riyadi.
Di tepi jalan dipasangi kotak neon bertuliskan penjelasan tentang sifat dasar shio tersebut. Lampion shio menjadi ajang berfoto, terutama anak-anak muda. Selain itu, kawasan Pasar Gede yang terang oleh lampion bulat merah serta gapura berbentuk atap kelenteng juga diserbu kaum muda, terutama di malam hari.