Matahari pagi mulai mengusir embun Palembang. Kami menuruni bantaran Sungai Musi, menyewa perahu getek untuk menyusuri sungai itu menuju Pulo Kemaro, menapaki satu kisah leluhur Kampung Kapitan. Kami berlayar mengikuti arus sungai ke arah utara melewati Pabrik Pupuk Sriwijaya dengan tabung-tabung raksasanya.
Seorang ahli arkeologi yang pernah saya temui di Palembang berkata bahwa di lokasi pabrik itu dulunya merupakan situs Keraton Kuto Gawang. Di Museum Sultan Badaruddin II Palembang, juga terdapat sebuah penjelasan berdasar replika peta 1659. Peta itu menggambarkan situasi Keraton yang dikelilingi dinding-dinding kayu besi sebelum dibakar oleh VOC, berikut dengan benteng-benteng di Pulo Kemaro, Plaju, dan Bagus Kuning.
Perahu kami mulai mendekati sebuah siluet pepohonan Pulo Kemaro dengan pagodanya. Sejatinya pulau ini adalah sebuah delta, namun kemunculannya kerap dihubungkan dengan kisah pasangan pengantin baru, Siti Fatimah dan Tan Bun An. Dari kejauhan tampak dermaga pulau ini masih sepi. Hari ini kami adalah pengunjung pertama. Penduduk sekitar sering kali menziarahi sebuah klenteng di pulau ini untuk mengenang pasangan pengantin baru yang tewas tenggelam di sekitar pulau itu. Tersebutlah kisah Tan Bun An dan Fatimah usai melawat ke daratan Cina. Orang tua Tan membekali mereka dengan guci-guci. Sesampainya di perairan Musi, Tan memeriksa isi guci-guci tersebut yang ternyata isinya sayur sawi asin.Namun, merasa bingkisan itu tak bermanfaat, Tan membuang guci-guci itu ke sungai.
Ketika guci terakhir, barulah sadar bahwa di dasar sayur sawi asin itu terdapat emas. Tanpa berpikir panjang, Tan terjun ke dasar sungai bersama seorang pengawal. Fatimah yang menanti di perahu mulai tak sabar, lalu turut terjun ke dasar sungai. Mereka tak pernah muncul lagi ke permukaan.
Apakah kisah ini kejadian nyata atau sudah tercampur dengan legenda, yang jelas warga Palembang telah mengeramatkan pulau ini sejak ratusan tahun lalu. Pulau Kemaro telah menjadi simbol keabadian cinta Siti Fatimah dan Tan Bun An.
Kami memasuki Klenteng Hok Tjing Bio di Pulo Kemaro. Tidak seperti kebanyakan klenteng, di sini terdapat satu batu mirip bongpai kecil (nisan dalam tradisi Cina) dengan tiga altar kayu. Di bawah altar itu tertumpuk dedaunan kering yang membentuk tiga bidang gundukan. Sejumlah empat kilin—binatang dalam mitologi Cina—menjaga tiap sudutnya. Bagi sebagian warga Palembang gundukan itu diyakini sebagai perwujudan makam Tan, Fatimah, dan pengawalnya.
“Setiap tanggal satu kalender Cina banyak yang sembahyang di sini,” kata Linda seorang pengurus klenteng. Bahkan, setiap tahun baru Imlek dan Cap Go Meh, klenteng ini sangat ramai dikunjungi peziarah berbagai kota. Menurutnya bangunan klenteng ini merupakan hasil renovasi pada 1960-an. “Papa bertugas di klenteng ini sejak 1957,” ujarnya. “Kami sekeluarga pindah ke sini sejak 1969.”
Pulau Kemaro terhampar dengan luas sekitar 24 hektare, yang ditumbuhi aneka pepohonan rindang. Saya melintasi halaman pagoda yang dijaga patung Buddha Tertawa bercat emas, lalu berjalan menuju ke sebuah pohon yang tampaknya dikeramatkan.
Saya berjumpa Tuminah, nenek ramah asal Surabaya, yang menjadi tukang kebun Pulo Kemaro. “Itu pohon jodoh, Nak!” Dia berseru kepada saya sembari menunjuk satu pohon besar yang batang-batangnya menyeruak dan menjulang dari permukaan tanah. “Banyak orang minta restu dengan menuliskan nama dirinya dan kekasihnya di pohon itu, Nak.”