Salah satu habitat bekantan (Nasalis larvatus) di Kalimantan Timur yang berada di luar kawasan konservasi adalah Sungai Hitam di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Sungai ini merupakan bagian dari DAS Seluang yang bermuara di Selat Makassar. Masyarakat lebih mengenal sungai ini dengan sebutan Sungai Hitam.
Disebut Sungai Hitam karena pada waktu tertentu aliran sungai ini berwarna hitam saat bertemu dengan aliran dari Sungai Kuala Samboja, warna air tersebut berasal dari lahan gambut dan dedaunan yang membusuk di tepi sungai dan terbawa oleh aliran sungai.
Habitat bekantan itu sendiri, terletak di sepanjang Sungai Hitam atau Sungai Kuala Samboja. Selain habitat bekantan, Sungai Kuala Samboja juga memiliki arti penting bagi kehidupan masyatakat di sekitarnya. Sungai Kuala Samboja mempunyai fungsi hidro-orologis sebagai daerah tangkapan air, sebagai penampung limpasan air hujan, dan tempat perkembangbiakan berbagai ikan komersial serta indikator banjir.
Sungai Kuala Samboja menampung seluruh aliran sungai di wilayah Kelurahan Margomulyo, Kelurahan Sungai Merdeka, Kelurahan Karya Merdeka dan beberapa kelurahan lainnya. Di kawasan tersebut bukan hanya terdapat habitat bekantan, vegetasi di Sungai Kuala Samboja dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kondisi tersebut menyebabkan terdapatnya perubahan formasi vegetasi mulai dari muara sungai menuju kea rah hulu. Jenis flora yang yang dijumpai seperti Mangrove dan nipah.
Sementara jenis fauna yang banyak dijumpai disini adalah berang-berang, monyet ekor panjang, biawak, ular, burung elang dan berbagai jenis burung lainnya. Habitat bekantan di Kuala Samboja berada di sekitar aliran Sungai Kuala Samboja, sepanjang lima kilometer. Habitat yang tersisa hanya pada sisi kanan dan sisi kiri sungai dengan lebar 0-200 meter. Habitat tersebut terisolasi dan terfragmentasi oleh berbagai infrastruktur, lahan masyarakat dan aktivitas masyarakat lainnya.
Dari jalan raya dan permukiman di bagian selatan Sungai Kuala Samboja, kebun dan penggembalaan ternak di sekitar Sungai Kuala Samboja yang tanahnya telah telah dimiliki oleh masyarakat, belum lagi kebun yang tidak dikelola secara intensif, semuanya telah berlangsung selama 25 tahun lalu. Belum lagi berbagai proyek pengembangan kecamatan, dari pelebaran jalan, jembatan, hingga beberapa perusahaan pengolahan limbah dan penambangan pasir.
“Saat ini luas areal yang masih feasible menjadi habitat bekantan di Sungai Kuala Samboja adalah 67,6 ha,” kata Ishak Yassir, salah satu peneliti dari Balai Penelitian Teknologi dan Konservasi Daya Alam beberapa bulan lalu.
Dengan keadaan tersebut maka, ketersediaan pakan adalah salah satu faktor pengaruh penyebaran dan batasan bagi Bekantan. Bekantan di Sungai Hitam ini telah menunjukan perilaku beradaptasi dengan makanan yang mereka peroleh dengan cara memuntahkan kembali makanannya lalu mengunyah kembali, sebelum makanan tersebut benar-benar ditelan. Biasanya makanan yang diperlakukan seperti itu yakni makanan yang sulit dicerna atau makanan baru.
Di Sungai Hitam, selain keterbatasan lahan, sumber pakan yang terbatas, menjadi penyebab bergesernya monyet Belanda tersebut ke daerah yang lebih dalam. Bekantan di Sungai Hitam memakan pucuk daun mangrove, rambai laut, dan beberapa jenis paku-pakuan.
“Saat ini populasi bekantan di Sungai Hitam atau Kuala Samboja belum bisa dipastikan, pasalnya di tahun 1993, populasinya mencapai 103 ekor, sementara prosentasi bayi pada tahun 2013 lalu hanya sekitar 7 persen saja, saya kira pasti ada penurunan, karena kondisi lahan dan daya jelajah hewan tersebut,” kata Ishak.
Konversi habitat menjadi masalah utama yang dihadapi Bekantan di Kuala Samboja. Status area yang tidak dilindungi dan justru diakui dimiliki oleh masyarakat sekitar semakin meningkat menyebabkan area sebar bekantan semakin berkurang, selain itu perkembangan daerah tinggal dan jumlah penduduk semakin meningkat, sehingga pembukaan area bervegetasi semakin bertambah, sementara habitat bekantan terus dikonversi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pemukiman, tempat usaha, dan pertanian.
“Dengan dikonversikannya habitat bekantan, tentu akan menyebabkan hilangnya kawasan hidup binatang tersebut, tentu selain area bergerak, tentu banyak pohon pakan yang mati, seperti jenis rambai laut dan beberapa pohon lain. Belum lagi sering terjadinya banjir karena tidak adanya daerah serapan karena habisnya area hutan karena pertambangan di daerah hulu sungai,” ungkap Ishak.