Bertani Murah, Hasil Melimpah

By , Kamis, 30 Januari 2014 | 17:38 WIB

Memadukan sawah padi dengan ternak sudah lama dilakukan. Beberapa pihak mencoba bertani dengan sistem PATI, akronim dari padi, azolla, tiktok, ikan. Dengan mengedepankan cara-cara pertanian organik, petani memungkinkan meraih hasil berlipat. 

Untuk menerapkan sistem ini, petani membutuhkan sawah irigasi, bukan sawah tadah hujan berpasokan air terbatas. Karena perlu banyak air pada masa awal program. Sawah pun harus bebas banjir untuk mencegah ikan hanyut.

Petani memelihara tiktok (mule duck) merupakan persilangan entok/itik manila (Cairina moschata) dari Amerika Tengah dan Selatan yang berbobot besar dengan itik alabio (Anas platyrhyncho) dari Kalimantan yang banyak bertelur.

Ikan yang dipilih adalah benih 5 – 8 sentimeter mas, nila dan lele dengan tebaran 10.000 – 20.000 ekor/ha yang mudah dipelihara, dan digemari untuk dikonsumsi.

Ikan dan tiktok di sawah dapat membantu mengatasi virus tungro, ulat, wereng coklat, keong mas, serta gulma macam rumput dan tanaman pengganggu lain.

Kotoran ikan, tiktok plus azolla  jadi pupuk dasar berupa N,P,K, Ca, Mg yang dibutuhkan padi untuk tumbuh dan berbuah. Hama tikus menjauh karena tak menyukai bau kotoran tiktok. Air irigasi pun lebih awet karena ikan dan tiktok selalu mengacaknya hingga kadar oksigen dalam air, tinggi. Tiktok yang berenang-renang mengelus-elus batang padi merangsang padi mengeluarkan hormon ethylene, perangsang pertumbuhan.

Dengan demikian, pertanian model seperti ini dapat menekan efisiensi biaya per satuan luas dan waktu. Yaitu mengurangi biaya pupuk dan pestisida, juga biaya dan tenaga pemeliharaan karena penyiangan dilakukan tiktok. Pakan tiktok tak perlu khusus karena telah kenyang menyantap keong mas, dan azolla yang juga disukai ikan. PATI menambah gizi keluarga dengan lauk protein hewani tiktok dan ikan, dan pendapatan sampingan dengan memasarkannya.

Azolla, water velvet (Azolla pinnata), tumbuhan air penghasil pangan bagi ganggang biru (Anabaena azollae) mampu menangkap dan mengubah nitrogen dari udara jadi pupuk bagi pertumbuhannya. Jadi, kayu apu dadak atau luku cai dalam bahasa Sunda ini jadi pupuk hijau bermuatan nitrogen.

Tanaman ini tersebar di seluruh dunia. Jia Xi Sue telah menyebut tanaman ini lewat buku Ci Min Yao Shu Yong yang digunakan di sawah sejak 540 SM. Pada masa wangsa Ming (1368 – 1644) petani selatan Cina memanfaatkannya sebagai pupuk dan pakan ternak.

Penelitian di Cina, Vietnam,Thailand dan AS menunjukkan, azolla di sawah menambah produksi padi 10 – 112%. India kini juga meneliti dan mengembangkan azolla sebagai pakan ternak.  

Azolla cepat tumbuh, cukup sejumput di kolam seluas 100 meter persegi, maksimal tiga hari sudah menutup permukaan. Kolam yang hari ini dibersihkan dari azolla untuk pupuk, esok paginya sudah penuh lagi. Lahan 1 hektare menghasilkan azolla 1 – 2 ton/hari setara protein 10 – 30 kg/hari.

Azolla sering dikacaukan dengan mata lele/kiambang (Salvinia melesta) yang sekilas memang mirip, jenis ganggang berakar yang dapat meracuni. Tutupannya begitu rapat hingga menguras pasokan oksigen di bawah permukaan air, merintangi pertumbuhan ikan dan fitoplankton, menyumbat saluran air dan menimbulkan buih di permukaan. Di Sri Lanka, tanaman ini tak boleh ada di persawahan.

Petani memang harus sabar memelihara ikan, tiktok dan azolla ketika menanam padi seperti ditunjukkan petani Cina dan Vietnam. Peningkatan kesejahteraan sebenarnya bisa diraih dengan lebih murah, kesuburan tanah dan lingkungan pun lebih terjaga,“ tutur Linus Simanjuntak, pendiri Yayasan Indonesia Hijau (1978), dan direktur Kebon Binatang Ragunan (1988 – 93) yang mempromosikan dan mempraktekkan PATI di Sawangan, Cisarua dan Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat sebagai proyek percontohan yang bisa ditiru.