Misteri Manuskrip Pusaka Kampung Kapitan di Palembang

By , Kamis, 30 Januari 2014 | 15:30 WIB

“Ini adalah buku silsilah keluarga kami,” ujar Tjoa Tiong Gie, yang akrab dipanggil Mulyadi. “Kapan dibuatnya dan siapa yang menulis, kami tidak tahu.” Dia membawa buku tebal bersampul hitam, lalu meletakkannya di sebuah meja lawas. Tak satu pun keluarganya yang bisa membaca aksara Cina. Bahkan, hingga kini, isi sejati buku itu pun masih misteri.

Mulyadi merupakan anak sulung dari Tjoa Kok Liem atau Babe Kohar. Buyutnya bernama Tjoa Ham Hin yang sohor sebagai Kapitan Cina terakhir di pecinan Palembang. Kami berbincang di ruang tamu, salah satu rumah tinggalan buyutnya di Kampung Kapitan. Lokasinya di tepian Sungai Musi di Palembang, tepat di seberang Benteng Kuto Besak.  Dahulu, benteng itu merupakan tembok Keraton Kasultanan Palembang.  Toponimi “Kapitan” mengacu pada tempat tinggal kapitan Cina di kampung ini. Jabatan kapitan diangkat oleh VOC dan berlanjut turun-temurun hingga pemerintahan Hindia Belanda. Menurut catatan Mayor William Thorn serdadu Inggris yang turut menaklukkan Palembang pada 1812, daerah pecinan ini telah dihuni sekitar 700 keluarga dengan beberapa pedagang besar dan perajin.

Suasana di pelataran depan rumah tinggalan kapitan Cina di Kampung Kapitan, Palembang. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

 “Kapitan” merupakan bahasa Portugis yang mengacu pada jabatan seseorang yang mengatur komunitasnya. Meski bergelar kapitan, jabatan ini tidak berkaitan dengan kegiatan militer. Jadi Kapitan Cina di sini hanya berwenang di komunitasnya dalam urusan perdagangan, memungut pajak, izin usaha, izin tinggal, hingga urusan surat lahir dan surat kawin.  Di kampung ini terdapat tiga rumah abad ke-19 atau akhir abad sebelumnya, tinggalan leluhur Sang Kapitan Cina. Rumah itu bergaya Hindia: perpaduan antara arsitektur rumah limas Palembang dan rumah Eropa yang berpilar. Selayang, wajah dan perawakan Mulyadi mirip dengan lukisan engkong buyutnya yang berdiri gagah dengan busana opsir Cina zaman kolonial.

Kini, tinggal dua rumah mewah saja yang menjadi hak milik keluarga Tjoa. Satu rumah digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan lainnya sebagai rumah abu. Sayangnya, pemerintah kota hanya peduli dengan taman di depan rumah kapitan itu, sedangkan rumah Kapitan Tjoa sebagai bangunan cagar budaya Provinsi Sumatra Selatan justru dibiarkan tak terawat.

Mulyadi mencermati halaman demi halaman buku silsilah itu; membuka dari kiri ke kanan. Buku itu ditulis pada lembaran kertas bergaris biru tipis, dengan aksara Cina bertinta hitam.  Dia berhenti pada satu halaman yang tampaknya sengaja disembunyikan oleh penyusun buku ini.

“Saya saja baru tahu sekarang,” kata Mulyadi menghentikan pembicaraan kami. Lalu, dia menunjuk seraya berseru, “Ini ada peta, sepertiya permakaman!” Kami menyaksikan denah permakaman terdiri atas belasan nisan. Tampaknya seseorang telah menambahkan denah ini dengan goresan pensil.

Dengan rasa ingin tahu, dia perlahan-lahan membuka kertas berperekat yang menutup selembar halaman. Semua mata tertuju pada goresan pensil di balik kertas: dua baris aksara Arab pegon yang ditulis dengan pensil, menyatu dengan untaian kalimat beraksara Cina. Temuan aksara arab itu tampaknya menegaskan sejarah hubungan antara keluarga Kapitan Cina dan keluarga Kesultanan Palembang.

Tjoa Tiong Gie, yang akrab dipanggil Mulyadi (kanan), dan saudara iparnya, Eng Sui, menunjukan dua pipa candu warisan Kapitan Tjoa Ham Hin di beranda rumah kapitan itu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

SEKITAR SATU SETENGAH tahun kemudian, Agni Malagina bervakansi ke pecinan Palembang, dan berkesempatan membaca beberapa halaman buku warisan itu secara sekilas. Dia merupakan seorang sinolog dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

Pada kesempatan lain, dia menuturkan kepada saya bahwa untaian kalimat beraksara Arab itu menggunakan bahasa Melayu. “Pada tahun 1271 [Hijriah] tanggal 27 bulan Rabiul Akhir, malam Rabu [...] coba ungkap buat pulang ke rahmat Allah,” demikian kata Agni mencoba membaca kalimat yang sebagian sudah tak terbaca itu. Dia menafsirkan bahwa telah terjadi peristiwa besar yang berpengaruh terhadap keluarga atau kota pada hari itu. Apa sesungguhnya peristiwa itu Agni belum mengetahuinya. Untuk mengetahui isi sejati buku tersebut, ungkap Agni, perlu seseorang yang serius membacanya.

“Buku itu isinya silsilah keluarga,” ungkapnya.  “Yang menarik dari buku itu ada catatan mengenai peristiwa keluarga, terutama pernikahan.” Penanggalan dalam buku itu menggunakan tahun kaisar yang bertakhta.

Buku milik keluarga Kapitan Tjoa itu sejatinya merupakan salinan, demikian menurut Agni. Dia melihat dalam untaian kalimat dengan tinta hitam yang beraksara Cina itu terdapat aksara lain. “Ada Hiragana Katakana,” ungkapnya. “Mungkin [ditulis pada saat] zaman Jepang berkuasa.”

 
Tjoa Kok Liem atau Babe Kohar, cucu Kapitan Tjoa Ham Hin, tengah bersembahyang. Rumah yang ditempatinya merupakan tinggalan Sang Kapitan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Agni juga menduga bahwa si penyalin naskah itu tidak biasa menulis dengan aksara Mandarin. Banyak karakter yang kurang sesuai dan bisa menimbulkan makna baru, demikian menurut pengamatan singkatnya.

“Perawatan buku itu menurutku memprihatinkan,” ungkap Agni. “Harusnya mereka bisa menempatkannya di kotak kedap udara atau kotak anti asam.” Seperti yang dituturkan Mulyadi kepada saya, buku itu disimpan di sebuah lemari lembap, tanpa perawatan khusus. Sebagai usaha pelestarian, Agni tengah memesan kotak anti asam di Perpustakaan Nasional, Jakarta, yang nantinya digunakan untuk menyimpan buku warisan Kapitan Tjoa. Rencananya, dia akan mengirimkan kotak tersebut kepada keluarga Kapitan Tjoa pada awal tahun ini. “Kukirim buat hadiah perayaan Cap Go Meh,” pungkasnya.