Mitos umum yang beredar tentang kanker ini harus disingkirkan supaya tak jadi membatasi upaya untuk mencegah dan melawan kanker.
Ada empat mitos kanker yang menjadi tema utama peringatan Hari Kanker Sedunia 2014 yang jatuh pada Selasa (4/2). Berikut penjelasannya.
1. Tak perlu membicarakan kanker
Menurut ahli onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Soehartati Gondhowiardjo, sebagian masyarakat masih menganggap kanker adalah hal yang tabu. Anggapan tersebut menyebabkan penderita kanker masih mengalami diskriminasi dan stigma yang merugikan. Mitos ini jelas menghambat berbagai upaya pencegahan kanker, karena tak pernah dibicarakan dengan tuntas.
“Mitos ini jelas merugikan. Tanpa adanya kemauan berbicara dan keterbukaan upaya pencegahan, deteksi dini, dan penyebaran informasi sulit dilakukan. Masyarakat tak boleh lagi percaya mitos, sehingga bisa mencegah dan mengelola kanker dengan tepat,” kata Soehartati.
2. Kanker tak memiliki tanda dan gejala
Meski kanker tidak timbul dengan cepat namun penyakit ini jelas memiliki gejala. Gejala ini bisa sangat awal diketahui penderitanya bila rutin melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan ini sekaligus tindak awal mencegah dan mengelola kanker.
“Gejala tiap kanker bersifat khas dan hampir ada pada semua jenisnya. Penderita bisa mengetahui bila rutin dan teliti memperhatikan tubuhnya. Melalui deteksi dini, masyarakat bisa tahu gejala awal kanker sedini mungkin,” ujar Soehartati.
3. Tak ada yang bisa dilakukan
Mitos ini biasa menghinggapi penderita kanker maupun masyarakat umum. Anggapan kanker adalah penyakit yang menakutkan menimbulkan rasa menyerah dan pasrah. Akibatnya, tidak timbul upaya maksimal untuk mencegah dan mengelola kanker.
Hal tersebut tentu saja tidak benar. “Kita dapat mencegah dan mengelola kanker dari level individu, komunitas, dan pembuat kebijakan. Dengan upaya maksimal kanker tentu bisa ditangani dengan baik, terutama kanker payudara, serviks, dan nasofaring yang memiliki penderita terbanyak,” tutur Soehartati.
4. Tak punya hak dalam pengobatan kanker
Mitos ini timbul karena rasa menyerah menghadapi kanker. Akibatnya, timbul rasa pasrah dan tidak memaksimalkan upaya pengobatan. Padahal, upaya pengobatan harus dilakukan semaksimal mungkin untuk kesehatan pasien. Tentunya pengobatan yang tepat dan dilakukan ahlinya.
“Tiap orang berhak dan sejajar dalam upaya pengobatanan kanker. Upaya maksimal tentu berdampak positif bagi penderita. Penderita tidak boleh jatuh pada janji-janji sembarang pengobatan yang belum terbukti kualitas dan efek sampingnya (evidence base),” tandas Soehartati.