Mereka yang Terakhir di Seni Pertunjukan Sunda

By , Rabu, 5 Februari 2014 | 10:09 WIB

Kami sedang berada di alun-alun berumput Kampung Budaya Sindangbarang pada perhelatan Unjuk Kabisa Pitu Gunung (unjuk kebolehan tujuh gunung), sekitar lima kilometer dari pusat Kota Bogor. Pawang Darto menghampiri seorang gadis belia yang langsung mau diajak untuk menjalani pertunjukan inti: Sintren.

Saya terpana. Ini sungguh tak biasa. Melibatkan penonton biasa untuk jadi bintang pertunjukan berbau mistis selama lebih dari satu jam? Saya simpan pertanyaan dan fokus ke depan.

Pertunjukan dari warga Gunung Tampomas, Sumedang ini agak berbeda dari Sintren yang saya pernah saksikan dalam Pasar Malam Cirebon di restoran kelas atas, Lara Djonggrang di Jakarta. Si gadis yang berpakaian biasa ditenangkan, lalu dituntun duduk dan dinaungkan kurungan ayam yang kemudian diselubungi kain, lalu dijampi-jampi.

Sintren kali ini lebih menantang. Si gadis dibaringkan, diikat dari leher sampai kaki lalu digelung tikar, diselubungi kain, dijampi-jampi dengan tambahan asap kemenyan dibakar di anglo kecil yang terus diputar-putar sekitar tikar. Rasanya kali ini lebih lama. Berkali-kali pawang Darto menepuk tikar seolah mengecek apakah proses di dalam sudah usai. Lebih dari 15 menit kemudian, gulungan tikar baru dibuka.

Gadis polos itu telah menjelma menjadi Sintren berpakaian adat Sunda plus kacamata hitam dan langsung bangun menari-nari. Gerakannya monoton: melenggak-lenggok di tempat. Darto meminta seorang penonton melempar sesuatu ke tubuh Sintren. Sang dewi langsung lemas dan terjatuh kalau tak ditopang penari pendamping yang bersiaga di belakangnya. Setelah Darto memantrai, Sintren tersadar lagi. Darto lalu meminta penonton mengikuti jejaknya.

Saya merogoh saku mencari uang logam seperti yang pernah saya lakukan di Lara Djonggrang. Tapi kemudian saya diberitahu. Yang dilempar itu uang kertas. Lho? Minta nilainya lebih banyak? Saya turuti saja, beberapa kali melempar dengan beragam nominal, menikmati dan mengamati bagaimana Si Sintren jatuh bangun berkali-kali tiap kali saya dan penonton lain melempar uang. Anggota tim pun sibuk mengumpulkan hasil lemparan.

Terbersit, apakah Sintren benar-benar tak sadar dalam segala proses ini? Beberapa kali saya menangkap gerakan “manusiawi” – Sintren membetulkan letak selendangnya kala masih “pingsan” dan sedang disadarkan. Juga ketika sudah ditenangkan di bagian akhir pertunjukan jelang dimasukkan kembali ke gulungan tikar untuk bersalin rupa menjadi si gadis polos kembali.s

“Sintren itu menurut saya berasal dari She Trance.” Saya tak menyangka begitulah analisis Darto, pawang generasi ketiga yang menjalankan “profesi” ini di keluarganya.

Ada banyak versi soal asal mula Sintren. Salah satunya, bermula dari Raden Sulandono, putra Ki Baurekso dan Dewi Rantamsari yang jatuh cinta pada Sulasih, gadis Desa Kalisasak. Asmara beda kelas sosial itu tak disetujui Ki Baurekso. Dewi Ratamsari yang diam-diam merestui membantu memasukkan roh bidadari Dewi Lanjar ke tubuh Sulasih yang menjadi penari hingga bisa bertemu dengan roh Sulandono yang bertapa. Lama-kelamaan, kisah kasih tak sampai ini berkembang menjadi Sintren, penari yang masih gadis perawan dimasukkan roh oleh pawang.

“Saya mulai belajar jadi Sintren sejak kelas 1 SMP.” Pengakuan ini meluncur dari Siska si Sintren, anggota Sekar Laras, sanggar pimpinan Darto. Seolah-olah diambil begitu saja dari penonton biasa ternyata bagian dari panggung sandiwara. “Saya ingin pengalaman baru. Asyik saja. Sejak jadi penari Sintren, saya bisa melihat makhluk halus, si bidadari ketika menari. Tapi memang harus pakai kacamata hitam. Kalau tidak, tak bisa lihat si bidadari. Sehari-hari juga sekarang saya bisa melihat makhluk halus. Kadang ada yang menyeramkan. Tapi saya tak takut.”

Siska pun mengaku tak sadar ketika menari diiringi sinden dan gamelan buyung, musik pukul mirip gentong, rebana, gendang, gong dan kecrek. Juga benar-benar lemas ketika disawer uang. Saya pernah baca pengakuan sintren yang mengaku benar-benar sadar ketika menari, tapi sesuai skenario akan melemas begitu dilempar uang. Entahlah. Tapi secara logika, berganti pakaian dalam kondisi terikat digulung tikar, hampir tak mungkin tak dibantu kekuatan supra natural.

Yang pasti, tim Sintren itu manusia biasa. Kehidupan mereka tergantung pada saweran penonton. Adegan demi adegan yang mereka lakukan pun membawa pesan kehidupan. Tikar dan kain adalah pralambang kafan dan makam. Sintren yang menari mengisyaratkan perayaan dan kebebasan dunia. Begitu tersawer lemas, itu mengingatkan agar tak terlalu berat pada dunia.

Tulisan ini pernah ditayangkan di National Geographic Traveler edisi Agustus 2012