Kabupaten Manggarai Barat punya segalanya. Mulai dari mengamati burung di wilayah Mbeliling, pengamatan flora fauna endemik, ekowisata ke Pulau Komodo, Liang Ndara, Nunang hingga Sano Nggoang–danau vulkanik terbesar di pulau yang meliuk seperti terong kisut.
Dengan begitu banyak pilihan ini, tentu wisatawan tak perlu terburu-buru pergi dari tempat cantik ini. Selama ini, usai menengok si naga purba dan menyelami arus deras perairan Komodo, pejalan langsung melompat ke Ende, menjenguk sepupu sepulaunya yang tersohor : danau vulkanik tiga warna Kelimutu dan rumah pengasingan Bung Karno (1933-37).
Di kampung budaya Liang Ndara, ada tari caci yang menunjukkan kesatriaan lelaki. Tiga burung endemik–kehicap flores (Monarcha sacerdotum), serindit flores (Loriculus flosculus), gagak flores (Corvus florensis)–dan tikus raksasa flores (Papagomys armandvellei) ada di bukit hutan sekitar Nunang, dusun sisi Sano Nggoang, tenggara Hutan Mbeliling. Sel-sel petualangan saya langsung berdenyut kencang.
Petualangan kecil itu bermula dari Labuan Bajo. Terbang dengan pesawat baling dari Ngurah Rai, Bali, begitu mengasyikkan saat cuaca cerah. Langit biru bergerumbul awan putih menghiasi Gunung Rinjani, Tambora dan membayangi pulau-pulau. Saya bahkan bisa melihat jelas roda pesawat keluar sesaat akan mendarat.
Bandara Komodo kecil, bersih terawat, dikelilingi perbukitan. Para penjemput, sopir taksi/angkot menunggu tertib di luar pintu gerbang bandara yang masih digembok. Pengambilan bagasi bukan di ruangan, tapi di pintu keluar gedung bandara berbatas landasan. Bagasi dari perut pesawat diangkut lori, diserahkan beranting satu per satu hingga pemiliknya, yang sebagian besar wisatawan mancanegara, mengambil.
Kami makan siang di Philemon, rumah makan sari laut yang namanya meminjam nama burung kuau hitam Timor. Olahan udang, kepiting dan cumi-cumi kami nikmati dengan pemandangan sejumlah pinisi tertambat di laut tenang, siap membawa pejalan ke Komodo dan liveaboard selam di seputar gugus 61 pulau itu.
Udara segar laut yang begitu tenang, sempurna memantulkan speedboat kami yang tanpa atap sarat penumpang dan perbekalan, membuat perjalanan 1,5 jam kami di siang bolong itu begitu nyaman. Mengarah ke barat, menjelang senja, kami tiba di dermaga Loh Liang (Teluk Buaya).
Lima tahun berselang, saat singgah di sela liveaboard (berlayar, tinggal di kapal) seputar Sumbawa-Komodo, 17-20 November 2004, penyambut kami adalah si elang bondol (Haliastur indus). Bertengger santai di terali dermaga, tak bergeming bahkan ketika kami memotretnya dari berbagai sudut. Si liar ini benar-benar tak merasa terancam.
Komodo (Varanus komodoensis) yang jadi dasar penetapan Taman Nasional (TN) Komodo rupanya jadi penjaga terandal bagi 277 spesies hewan lain – 32 jenis mamalia, 128 jenis burung, 37 jenis reptil -- di habitat utamanya, Pulau Komodo. Kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea parvula), yang di Flores dulu merupakan kelompok besar yang ribut, misalnya. Sejak ada kuota tangkap 2.000-3.000 ekor/tahun pada 1970-an, mereka punah di pulau bunga itu. Tapi di TN Komodo, di awal 2.000-an ditaksir ada sekitar 600 ekor.
Saat itu, sudah enam bulan hujan tak turun. Seluruh pulau cokelat merangas. Sang komodo nyaris tersamar sewarna tanah. Di sela-sela ranting telanjang dan ilalang mengering, mengintip berpasang mata rusa (Cervus timorensis) dan kelebat babi hutan. Hidup bertahan di tanah kering itu
Kali ini, saya tiba di perbatasan penghujan dan kemarau. Masih ada titik hujan di penggal hari. Hijau menyelimuti 336 kilometer persegi pulau yang diwarnai savanna dan hutan semi awet daun – sebagian besar pohonnya meluruhkan daun. Bangunan panggung tembok menggantikan Pos TN yang dulu hanya rumah panggung kayu sederhana bak bedeng. Pohon rindang menaungi setapak menuju pasar cendera mata yang sore itu menyisakan satu penjaja, dua rumah panggung kayu kediaman jagawana dan restoran, dan bangunan panggung tembok wisma tamu.