Seabad Sejarah Arsitektur Indonesia Ditampilkan di Venice Biennale 2014

By , Sabtu, 8 Februari 2014 | 13:20 WIB

Arsitektur Indonesia akan ikut serta ditampilkan dalam ajang Architecture International Exhibition Venice Biennale (AIEVB) 2014 di Arsenale, Venesia, Italia. Pameran arsitektur bergengsi di dunia yang telah berlangsung selama 119 tahun ini akan berlangsung selama 6 bulan, mulai 14 Juni hingga 27 November.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Mari Elka Pangestu menyambut baik hal ini dan mengatakan, tampilnya karya arsitektur Indonesia di AIEVB 2014 pasti akan membuat Indonesia lebih dikenal masyarakat dunia. “Ajang ini dapat mempromosikan daya tarik destinasi Indonesia,” ujarnya saat membuka konferensi pers di Galeri Kunstkring, Jakarta (7/2).

Pada tahun ini, Indonesia pertama kali diundang oleh kurator utama Biennale asal Belanda, Rem Koolhaas. Paviliun Indonesia akan mengangkat tema “KETUKANGAN: KESADARAN MATERIAL (CRAFTSMANSHIP: MATERIAL CONSCIOUSNESS)”— yang merupakan penjabaran dari tema besar AIEVB 2014, Fundamentals. Absorbing Modernity: 1914-2014.

Dengan tema tersebut, kita harus melihat kembali seratus tahun perjalanan sejarah arsitektur Indonesia termasuk dalam persinggungannya dengan modernitas. Menurut Avianti Armand dari tim kurator Paviliun Indonesia untuk AIEVB 2014, ini didasari sebuah kekhawatiran. “Koolhaas khawatir mulai adanya keseragaman karakteristik dalam arsitektur di berbagai negara, dan curiga modernitas yang mengikisnya,” ungkap Avianti.

Mengenai tema yang akhirnya terpilih untuk menerjemahkan 100 tahun perjalanan arsitektur Indonesia, Avianti memaparkan, dari sekian banyak pintu masuk menuju sejarah seabad arsitektur di Tanah Air, “Kami menarik benang merah 6 material ini: kayu, bata, batu, beton, metal, dan bambu. Keenam material ini yang memengaruhi bagaimana perkakas, keterampilan tukang, serta teknologi membangun dari masa ke masa. Arsitektur selalu bergerak di seputar mereka.”

Ia mengutarakan, sebagai "tukang" arsitek terdapat 2 proses untuk produksi, yakni ide (desain) dan pelaksanaan (konstruksi). Namun imbas modernitas, arsitek kini tak punya lagi kesadaran material.

Arsitek yang acapkali tidak lagi memiliki kepekaan dan kesadaran materialitas arsitektur, mengabaikan yang terjadi pada alam dan manusia berupa sederet bencana yang mengancam perlahan—deforestasi, kota-kota yang mati, urbanisasi tak terkendali, banjir, sampah, dan lain-lain.

Ketukangan yang dianggap dapat mendekatkan kembali gap antara ide dengan pelaksanaan. Sehingga, lanjut Avianti, arsitek menjadi sadar dengan produksinya. “Ketukangan merupakan jalan alternatif ke arah memanusiakan kembali pekerja yang terasing karena kapitalisme. Dalam kapitalisme kerja ditempatkan sebagai sebuah komoditi, bukan kesenangan.”

Sementara Menparekraf menjawab betapa pentingnya peran arsitektur dalam mengembangkan industri kreatif. Walau dibanding yang lain angkanya masih tergolong kecil untuk saat ini, tercatat pertumbuhan menggembirakan 8 persen di tahun lalu.

“Arsitektur sebagai sektor kreatif Indonesia—yang sedang dan akan terus kita dorong demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat—sangat menjanjikan. Indonesia punya warisan budaya yang luar biasa banyak, orang kreatif Indonesia sudah eksis dari dulu,” kata Mari.

“Memang belum [ada] kalau orang yang datang khusus untuk lihat arsitektur Indonesia. Kaitannya ke pariwisata memang bukan kaitan langsung, tapi sangat erat terkait secara tidak langsungnya. Saya pikir banyak wisatawan mancanegara datang untuk wisata sejarah dan budaya. Misal, Candi Borobudur. Itu bukti yang menunjukkan seni arsitektur di peradaban Indonesia sudah berkembang sejak masa lampau,” Mari menjelaskan.

Tahun 2013, ekonomi kreatif memberi kontribusi terhadap perekonomian nasional hingga Rp641,8 triliun atau sebesar 7,05 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) Nasional. Sektor ini juga menciptakan lapangan kerja bagi sebanyak 11,8 juta orang.