Saya dihubungi oleh seorang kenalan, Swina Lathersia, yang tinggal di Bandung untuk berjumpa dengannya di waduk Jatiluhur, Purwakarta – Jawa Barat.
"Kami akan survei," begitu kata kawan saya. Saya pun menyanggupinya sambil diliputi penasaran. Kawan saya ini penggemar perahu kayak. Sebenarnya ia atlit rafting yang sering mendapat penghargaan, tapi belakangan mendalami kayak. Bisa dibilang perempuan Indonesia pertama pemain kayak. Banyak tempat di Indonesia telah diarungi dengan kayaknya, sebut saja misalnya danau Toba, sungai Asahan sampai ke perairan Raja Ampat, di Papua.
Maka, hari Sabtu kemarin (8/2), saya datang ke waduk Jatiluhur. Titik jumpanya di Pelopor Adventure Camp (PAC), tempat yang biasa digunakan para petualang berkumpul. Sampai di sana saya di sambut oleh Swina dan suaminya, Priyo Utomo. Setelah berbasa basi sejenak saya langsung disodorkan sebuah perahu kayak untuk saya gunakan mengarungi waduk Jatiluhur.
Saya belum pernah menggunakan kayak sebelumnya lalu saya bertanya tanya bagaimana cara menggunakannya? Swina hanya menjawab, "Coba dan rasakan sendiri saja dahulu." Saya pun mulai mencoba kayak tersebut. Ternyata mengasyikan juga mendayung perahu kayak ini. Tidak sesulit yang saya bayangkan, dengan cepat saya beradaptasi.
"Mau kemana kita?" Tanya saya saat Priyo mengajak saya mengarungi waduk. "Kita ke ujung sana saja," jawab Priyo sambil menunjuk ke suatu arah. Kami pun bergerak sambil ditemani dua orang teman lagi yaitu Yayan Apriadi dan Epot.
Saat kayak mulai berada di tengah danau angin terasa bertiup kencang, air pun mulai bergelombang. Anehnya, malah mengasyikan! Gelombang itu terasa menimang-nimang kami. Di depan kami berjajar keramba ikan milik penduduk. Di waduk ini terdapat 22.000 keramba ikan milik warga dan perusahaan. Nilai ekonominya tinggi. Banyak warga yang ekonominya bertumpu pada hasil keramba ini.
Kami pun mulai memasuki area keramba ikan. Kayak berkelak-kelok di antara keramba. Sesekali saya naik ke keramba untuk melihat kehidupan para pemilik yang tinggal di atasnya. Jangan kaget di keramba-keramba ini terdapat beberapa warung untuk memenuhi kehidupan warga yang tinggal di sana. Mulai dari sembako sampai, bahan bakar dan suku cadang mesin perahu. Mereka ramah-ramah, saya ditawari makan dan minum saat naik ke keramba.
Saya sangat menikmati mendayung kayak ini. Tak terasa sudah tiga jam kami mendayung. "Kami mau menciptakan tren berkayak di Indonesia," begitu jelas Priyo dan Swina kompak saat ditanya keberadaan mereka di waduk ini. "Indonesia negara perairan, kayak ini cocok untuk dikembangkan," ungkapnya. "Sepeda saja bisa menjadi tren, kayak seharusnya bisa."
Priyo mencontohkan negara tetangga, "Singapura itu perairannya sebesar apa sih? Tapi pemerintahnya menyediakan kayak di waduk Kalang untuk bisa digunakan warga. Warga bisa menyewa."
Alam Indonesia memang sangat potensial untuk bisa berkayak ria. "Saya sering menjadi guide orang-orang eropa yang ingin berkayak di Indonesia," jelasnya lagi. Titik-titiknya sangat banyak, mulai dari sungai-sungai Aceh yang deras, danau Toba, terus sampai sungai ke Papua.
Manfaatnya juga banyak kalau masyarakat mulai berkayak. Selain nilai ekonomi dan berolahraga, masyarakat akan peduli dengan perairannya. Kalau tercemar mereka akan langsung bereaksi. "Mereka yang berkayak pasti tidak mau lingkungannya tercemar," jelas Priyo lagi.
Priyo, Yayan dan Swina kompak ingin mengembangkan minat masyarakat terhadap perahu kayak di Indonesia. “Makanya kami ke sini survei untuk mencari tahu kira-kira berkayak model apa yang paling cocok untuk dikenalkan kepada masyarakat.”
Tekad mereka bulat agar kayak bisa menjadi tren seperti juga sepeda yang telah terlebih dahulu menjadi tren di Indonesia. "Doakan kami berhasil!" ujar mereka.
Malam itu saya kembali ke Jakarta dengan kondisi pegal di sekitar lengan dan tulang belikat karena berjam-jam mendayung. Tapi kok, rasanya saya ingin mengulangi mengarungi perairan dengan kayak lagi?
Saya malah ketagihan untuk ikut mendayung kayak lagi bersama mereka!