Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (PLTU) Batang mengancam kawasan perairan yang kini menjadi pertahanan terakhir bagi ekonomi nelayan pantai utara Jawa (Pantura).
Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengungkapkan bahwa PLTU Batang yang akan dibangun di wilayah seluas 226 hektar berpotensi merusak lingkungan laut serta merugikan nelayan secara ekonomi dan kesehatan.
Arif menuturkan, PLTU Batang yang akan dibangun atas kerjasama Bank Jepang untuk Kerjasama International (JBIC) dan Bank Dunia memakai teknologi ultra-critical plant untuk membangkitkan listrik.
"Oleh Jepang, teknologi ini diklaim ramah lingkungan. Tetapi sebenarnya, ini hanya lebih efisien. Kalau dengan teknologi lain, untuk membangkitkan 1 MW listrik butuh 1 ton batubara, dengan ini hanya 600 kg. Sementara, limbahnya tetap," kata Arif.
PLTU bisa melepaskan limbah berupa merkuri dan asap dengan partikel debu. Sebanyak 0,907 gram merkuri bisa membuat ikan di wilayah seluas 100 meter persegi tak dapat dimakan. Sedangkan asap berpotensi memicu masalah kesehatan.
Dalam kasus pembangunan PLTU Batang, jumlah merkuri yang bisa dilepaskan diperkirakan sebanyak 226 kg per tahun. Jumlah tersebut bisa memicu bencana perikanan di Batang serta merusak pesisir Ujungnegoro Roban yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Masalah kesehatan, berdasarkan studi Greenpeace, terbukti dialami oleh warga di sekitar PLTU Cilacap. "Banyak warga menderita gangguan kesehatan dari infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) sampai black lung yang biasanya dialami pekerja tambang," kata Arif.
Dampak ekonomi pembangunan PLTU bagi nelayan juga telah ditunjukkan dalam kasus PLTU Cirebon. Arif mengungkapkan, nelayan Direbon harus mengeluarkan uang lebih banyak dan berlayar lebih jauh untuk mendapatkan ikan dalam jumlah cukup.
"Sebelum ada PLTU, dengan 1 liter BBM, nelayan bisa mendapatkan ikan dalam jumlah cukup. Setelah ada PLTU, dengan BBM 10 liter, nelayan di Cirebon belum tentu bisa dapat ikan. Mereka juga harus lebih jauh," ungkap Arif.
Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), mengatakan, banyak kawasan penangkapan ikan Pantura telah rusak. 'Batang adalah tempat aman terakhir bagi nelayan,' katanya.
Saat ini, perairan Batang dimanfaatkan sebagai tempat penangkapan ikan oleh nelayan dari berbagai tempat seperti Cirebon, Indramayu, Surabaya, dan bahkan dari Jakarta. Bila kawasan ini rusak, banyak nelayan yang merugi.
Selamet mengungkapkan, nelayan Batang mendapatkan uang paling tidak Rp 400.000 sekali melaut. Dengan 20 hari melaut, selama satu bulan nelayan bisa meraup Rp 8 juta. "Kalau mereka lalu menjadi buruh, saya tidak yakin mereka akan mendapatkan sejumlah itu," katanya.
Dalam konferensi pers di kantor Greenpeace, Selasa (11/2), Roidhi dan Karoman, warga Batang, menuturkan bahwa warga setempat telah menolak pembangunan PLTU. "Kami minta agar PLTU ini tidak diwujudkan," kata Karoman.
Arif berharap agar pembangunan PLTU Batang dibatalkan. Untuk mencukupi kebutuhan energi, ia menyarankan agar pemerintah berkonsentrasi mengembangkan panas bumi yang memiliki potensi besar di Indonesia dan lebih terbarukan.