Deteksi Abu Letusan Gunung Berapi dengan AVOID

By , Sabtu, 15 Februari 2014 | 21:07 WIB

Letusan gunung berapi sudah terbukti mempunyai dampak yang sangat besar bagi dunia penerbangan. Dampak keselamatan maupun bisnis penerbangan. Contoh dampak keselamatan penerbangan adalah peristiwa yang menimpa pesawat Boeing B747-200 milik British Airways.Pada tahun 1982, pesawat dengan nomor penerbangan 009 itu terpaksa mendarat darurat di  Bandara Halim Perdanakusuma saat perjalanan dari Inggris menuju Australia. Pasalnya, saat di atas udara Indonesia, mesin pesawat kemasukan debu vulkanik hasil letusan Gunung Galunggung di  Garut. Mesin pesawat pun mati mendadak dan pesawat turun dengan cepat. Untunglah sebelum mencapai daratan, pilot berhasil menghidupkan lagi mesin pesawat setelah mencoba berkali-kali. Pesawat pun terpaksa mendarat darurat di bandara memadai terdekat.Contoh dampak pada bisnis penerbangan, terjadi pada tahun 2010 lalu. Awal bulan April 2010, Gunung Eyjafjallajokul di Islandia meletus. Akibat letusannya, pada 15 dan 21 April, kawasan udara di atas daratan Eropa tertutup debu vulkanik. Otoritas penerbangan negara-negara Eropa pun menutup penerbangan hingga lebih dari 80%. Sekitar 100.000 penerbangan dibatalkan. Jutaan penumpang terlantar di bandara-bandara Eropa. Kerugian akibat penutupan tersebut diperkirakan mencapai 2,6 miliar dolar AS (Sekitar Rp 30 triliun).Saking berpengaruhnya dampak letusan gunung berapi, saat terjadi peristiwa tersebut otoritas penerbangan setempat  akan mengeluarkan ashtam (notam khusus tentang debu vulkanik).Masalah utamanya, partikel debu vulkanik ini sangat kecil, tidak kasat mata. Saat debu sudah menyebar di angkasa bahkan tidak bisa dideteksi oleh radar. Jika salah prediksi, kejadian seperti dialami B747-200 British Airways bisa saja terulang dengan akibat yang lebih fatal.Sensor debuPada 13 November lalu, tiga perusahaan dan dua lembaga pendidikan yang bekerjasama mengembangkan teknologi pendeteksi debu vulkanik di angkasa melakukan percobaan berarti. Tiga perusahaan tersebut adalah maskapai EasyJet dari Inggris, pabrik pesawat Airbus, Nicarnica Aviation serta Duesseldorf University of Applied Sciences dan Institute of Earth  Science.Mereka mencoba satu alat pendeteksi yang dinamakan AVOID (the Airborne Volcanic Object Imaging Detector) ciptaan Dr. Fred Prata dari Nicarnica Aviation. Sistem AVOID ini seperti radar cuaca, hanya saja untuk abu. AVOID menggunakan teknologi infra merah yang dipasangkan pada armada untuk memberikan gambar-gambar kepada para pilot dan pusat komando operasional suatu maskapai. Dengan gambar-gambar ini, pilot akan dapat melihat awan abu hingga 100 km di depan pesawat mereka pada ketinggian antara 5.000 dan 50.000 kaki. Dengan demikian, mereka akan dapat menyesuaikan rute pesawat untuk menghindari awan abu tersebut.Di darat, informasi yang didapat dari pesawat yang dilengkapi oleh teknologi AVOID akan diolah dan digunakan untuk menciptakan sebuah gambar abu vulkanik yang akurat dengan menggunakan data real-time. Hal ini dapat membuka kawasan udara baru, yang tanpa teknologi ini harus ditutup akibat letusan gunung berapi.Percobaan dilakukan dengan menyebarkan satu ton abu vulkanik di atas Teluk Biscay. Abu vulkanik tersebut berasal dari letusan Gunung Eyjafjallajokul pada 2010 lalu. Abu dikumpulkan dan dikeringkan oleh Institute of Earth  Science di Reykjavik. Abu kemudian diambil dan diterbangkan oleh EasyJet menuju Toulouse.Sebuah pesawat Airbus A400M kemudian menyebarkan abu tersebut di ketinggian 9.000- 11.000 kaki, menyerupai ketinggian debu saat letusan gunung tahun 2010 lalu. Abu membentuk awan artifisial dengan kedalaman 600 hingga 800 kaki dengan diameter 2,8 km. Awalnya awan debu ini dapat dilihat dengan mata telanjang. Namun dengan cepat  awan pecah hingga debunya sulit terdeteksi.Hasilnya, dari jarak 60 km, sensor AVOID di A340-300 mampu mengidentifikasi serta mengukur awan debu tersebut. Sensor vulkanik dapat mendeteksi awan debu dan mengukur kepadatannya yang berkisar antara 0,1 hingga 1 g m-2 - atau dengan konsentrasi antara 100 hingga 1000 μg m-3. Angka ini merujuk pada kisaran konsentrasi yang diukur dalam peristiwa meletusnya gunung berapi Eyjafjallajokul bulan April dan Mei 2010.BergunaKeberhasilan  percobaan ini disambut dengan sukacita. “Ini merupakan contoh bagaimana industri dan ilmu pengetahuan dapat bekerja sama untuk memecahkan suatu masalah,”  ujar Fred Prata.Bagi industri penerbangan di Eropa, percobaan ini sangat berarti. Sampai saat ini, ancaman letusan gunung berapi di Islandia masih mengancam. Menurut Magnús Tumi Gudmundsson dari Institute of Earth Science, selain Gunung Eyjafjallajokul masih ada dua lagi gunung berapi yang dikhawatirkan meletus. Yaitu Gunung Hekla dan Katla.Pada periode 1970 hingga 2010, telah terjadi tujuh letusan gunung di Islandia. Beruntung pada periode tersebut abu vulkanik justru berhembus menjauh dari Eropa akibat hembusan angin selatan. “Namun ketika angin berhembus dari barat laut, abu tersebut akan menyebar ke wilayah Eropa, sama halnya ketika Eyjafjallajokul meletus di tahun 2010,” ujarnya.EasyJet langsung menyatakan akan memakai teknologi ini. “Hal ini merupakan langkah kunci dalam rangkaian uji coba teknologi dan akan mengarah pada sertifikasi komersial. easyJet mulai sekarang akan bekerja menuju sistem non-integrasi yang dapat berdiri sendiri yang diharapkan dapat dipasang pada sejumlah armada kami di akhir tahun 2014 nanti, ”  ujar easyJet Engineering Director Ian Davies.Bagi penerbangan di Indonesia, hasil penelitian ini tentu juga sangat berarti. Mengingat di Indonesia banyak sekali gunung berapi yang sangat aktif dan sering meletus menyemburkan abu vulkanik. Tahun ini saja, setidaknya ada Gunung Lokon, Gunung Sinabung dan Gunung Merapi yang meletus. Dengan mengaplikasikan teknologi hasil penelitian ini, tentu dampaknya terhadap penerbangan nasional bisa diminimalisir.